Andini Sekartaji duduk dihimpit Felisia Setyarini dan Kumang. Tempat makan itu sedang ramai-ramainya. Tak heran sebenarnya karena saat itu sedang jam makan siang. Beruntung mereka masih sempat mendapatkan sebuah meja bundar dengan enam bangku mengelilinginya.
Suasana yang riuh di dalam ruangan rumah makan itu membuat siapa saja berbicara dengan lebih keras. Termasuk Andini Sekartaji yang sudah sedari awal, ketika pantatnya menyentuh kursi, ia sudah berseru mengatakan, “Aku nggak makan deh ya.”
Kanigara Gatra menggunakan kedua telapak tangannya menjadi corong telinganya. “Kenapa, kenapa?” tanyanya pada Andini Sekartaji yang duduk tepat di seberangnya. Suara semua orang berbicara nyaring membuatnya tak dapat mendengar dengan baik ucapan gadis itu.
“Aku tidak makan, kalian saja. Sudah kenyang,” ujar Andini Sekartaji lebih keras dari sebelumnya. Suara sang gadis yang lemah lembut nan lirih itu menerobos keriuhan.
“Serius kamu tidak mau pesan apa gitu, An?” kembali Kanigara Gatra berseru.
Andini Sekartaji menggelengkan kepalanya keras-keras.
“Baik, baik,” ujar Kanigara Sekartaji segera. Ia mahfum dengan watak gadis itu sehingga enggan untuk kembali menekan. Ia mengangkat tangannya untuk memanggil pramusaji yang datang setelah menunggu beberapa saat saking ramainya rumah makan tersebut.
Selain Andini Sekartaji, mereka semua memesan makanan. Kumang yang bertubuh langsing itu selalu saja membuat iri gadis-gadis lainnya. Ia memesan tidak hanya nasi dan sayuran, namun juga beragam pernak-perniknya. Dari daging, lauk-pauk tambahan, serta makanan ringan untuk penutup.
“Aku paling benci kalau sudah saatnya memesan makanan,” ujar Sakti Soeryati. “Di apartemen, dia yang paling banyak memesan makanan. Sedangkan aku harus melongo melihat nafsu makannya yang seperti kuda nil itu,” serunya.
“Darimana kau tahu selera makan kuda nil, Sak?” balas Kumang.
“Bukan itu intinya, Kumang. Kau makan rakus sekali, membuka mulut besar-besar, tapi tetap tidak bisa gemuk-gemuk. Badanmu selalu setipis itu,” ujar Sakti Soeryati.
“Tapi kuda nil ‘kan badannya besar, gemuk,” kembali Kumang membalas.
“Sudah kubilang, bukan itu intinya. Aku hanya membandingkan selera makanmu dengan kuda nil, bukan bentuk badannya,” kata Sakti Soeryati kembali, mulai kesal.
“Darimana kau tahu selera makan kuda nil?”
“Kumang!” seru Sakti Soeryati setengah berteriak.
Gelak tawa meledak. Bahkan Felisia Setyarini paham bahwasanya Kumang sedang mempermainkan sepupunya tersebut.