6nam

Nikodemus Yudho Sulistyo
Chapter #7

Lorong

Felisia Setyarini berjalan pelan di sebuah lorong. Kaki telanjang tanpa alasnya itu membeku merasakan dinginnya permukaan lantai, sedangkan jari-jari tangannya yang ramping menyentuh menelusuri dinding berwarna abu-abu itu. Ia bersumpah merasa akrab dengan lorong yang bercahaya minim tersebut dan seperti mengenalnya dengan cukup baik. Makanya dengan sekuat tenaga ia mencoba menekan memorinya agar muncul ke permukaan dan mengenali apa yang sedang ia alami sampai akhirnya dinding abu-abu yang ia sentuh terasa berubah bentuk dan memiliki guratan halus di permukaannya yang tak rata.

Lamat-lamat Felisia Setyarini akhirnya dapat melihat bahwa dinding lorong tersebut berwallpaper motif bebungaan dan dedaunan merambat. Terlihat indah sekaligus mengerikan di saat yang sama. Gadis manis bermata sipit itu mendadak ingat bahwa sampai saat ini ia benci sekali dengan motif bunga dan dedaunan. Membuatnya muak dan merasa mual ingin muntah saja rasanya.

Tak lama, Felisia Setyarini mendengar suara yang menyebar di sepanjang lorong, merambat melalui udara. Pertama pelan, lambat laun semakin terdengar jelas.

Apakah suara itu detak jantungnya sendiri? Pikir Felisia Setyarini. Tak mungkin! Karena ada satu suara lain yang hadir bersamaan, saling berkejaran, saling lilit, menumpuk namun di saat yang bersamaan terpisah tanpa saling tubruk.

Rasa ngeri dan takutnya dikalahkan oleh rasa penasaran. Ini membuat Felisia Setyarini memutuskan memerintahkan kedua kakinya untuk menuntun tubuhnya menyusuri lorong mencari sumber suara itu.

Kegelapan menelan tubuh mungilnya ketika ia semakin dalam menjauh dari sumber cahaya minim yang bahkan ia sendiri tak tahu berasal dari mana.

Suara serupa detak jantung itu semakin terdengar keras dan jelas.

Ya, di ujung lorong dimana cahaya habis dan tak kuat menerangi lagi itulah sumber suara itu. Ia yakin dan bahkan tahu bahwasanya di sudut sana ada sesuatu yang begitu mengerikan sampai-sampai ia hampir tak mampu menggerakkan kedua kakinya lagi. Di sudut kelam itulah, sesuatu yang sangat menakutkan sedang menunggunya, menggodanya untuk datang menghampiri, menyeret paksa kaki-kaki rampingnya.

Entah bagaimana Felisia Setyarini mengetahui segalanya, awas dengan apa yang sedang mengintainya. Ketika ia memutuskan untuk melanjutkan berjalan ke titik hitam di ujung lorong sana, maka tak ada lagi yang dapat dilakukan selain menemukan hal yang membuatnya bergidik ngeri.

Felisia Setyarini tersentak. Matanya membuka dan melihat Kumang sedang memandang ke arahnya. “Kau kenapa, Fel?” tanya Kumang melihat sorot mata sahabatnya itu yang seakan terbangun dari sebuah mimpi buruk.

Di belakang, Andini Sekartaji menyentuh pundaknya pelan. Mungkin ini yang membuat Felsia Setyarini terbangun.

Gadis mungil itu memandang ke belakang, melihat ke arah dimana Andini Sekartaji berada dan mendapati Sakti Soeryati juga ikut memandanginya dengan rasa penasaran dan kepedulian yang tinggi. “Biasalah, mimpi buruk seperti yang lalu-lalu,” ujarnya, sebagai respon pertanyaan Kumang dan pandangan Sakti Soeryati.

Sakti Soeryati mendesah “Kau masih sering mimpi buruk begitu, Fel? Bukannya kau bilang sudah lebih dari setahun kau jarang mengalaminya lagi?”

Lihat selengkapnya