Anak perempuan itu masih terlalu muda untuk memberi makan egoisme orangtuanya, terutama sang mama. Tetap saja, tangannya yang kecil dicengkram dan ditarik sehingga tubuhnya terseret-seret. Gadis kecil itu terpaksa harus setengah berlari mengikuti tarikan tangan mamanya yang sudah diburu emosi.
Keduanya baru turun dari mobil dan sampai di hotel tersebut. Sebuah hotel yang berdiri di tebing yang menjorok ke laut. Hotel indah itu bernama The Niners. Hanya saja, keindahan hotel itu sudah terlanjur tertutupi tujuan dari cara mama dan anak perempuan itu kemari. Sang anak perempuan sendiri memandang bangunan yang menjulang tinggi itu sebagai sebuah ancaman. Ia sebenarnya tak tahu-menahu apa yang membuat mamanya membawanya kemari dengan ledakan amarah yang membakar menyala-nyala.
Sesampainya di lobby, yang dihiasai dengan tangga lingkar dan lampu gantung klasik yang super besar, sang gadis kecil itu tak tahu apa yang diributkan mamanya dengan para resepsionis hotel yang meyambutnya. Yang jelas ia mendengar lamat-lamat beberapa kalimat yang baginya tak masuk di akal dan tak mungkin bisa ia pahami di usia sedini itu seperti, “ … saya minta, segera berikan saya kunci kamar itu. Orang di dalam kamar itu adalah suami saya. Jangan sampai saya perkarakan hotel ini, ya!”
Sang gadis juga mendengar balasan dan respon penuh penyesalan dan ucapan maaf seperti, “ … maaf, Ibu, sudah menjadi tanggung jawab kami bahwa hal tersebut tidak bisa dilakukan.” Atau, “ … bagaimanapun, beliau adalah tamu kami. Mohon maaf sekali lagi ….” Ada pula, “Maaf, sekali lagi mohon maaf, Ibu. Tapi kami memang tidak bisa melakukannya.”
Percakapan penuh nada suara tinggi itu berakhir dengan kekalahan sang mama. Mereka hampir saja keluar dari hotel ketika menemukan seorang petugas keamanan yang mendekati mereka dima-diam. “Saya bisa bantu Ibu. Tetapi hal ini sangat beresiko, apalagi bila sampai saya ketahuan membantu Ibu.”
Kali ini sang gadis kecil mendengar percakapan yang terbalik dengan sebelumnya, yaitu penuh dengan suara rendah cenderung berbisik-bisik. Percakapan berhenti ketika mamanya menyerahkan beberapa lembar uang kertas ke tangan si petugas dan sang petugas yang mungkin berusia paruh baya itu memberikan sebuah kunci.
Selanjutnya yang diingat sang gadis adalah ketika ia dan mamanya melewati sebuah lorong dengan dinding berwarna abu-abu dan permukaannya dihiasi motif sulur tanaman dengan daun dan bebungaan. Di ujung lorong itulah dimana anak perempuan itu menemukan sesuatu yang begitu buruk sampai-sampai menempel di alam bawah sadar pikirannya bertahun-tahun kemudian.
Felisia Setyarini mulai merasakan bahwa kaki sampai tubuh mereka yang semula kaku perlahan mulai bisa digerakkan. Di depannya, sosok mahluk berupa tubuh seorang perempuan berdarah-darah itu masih berjalan dengan menyeret salah satu kakinya dengan terpincang-pincang ke arahnya.
Felisia Setyarini akhirnya berhasil membalikan tubuhnya dan berusaha meninggalkan tempat itu ketika tubuhnya menubruk sesuatu.
Ada Kanigara Gatra di sana.
“Kamu kenapa, Fel?” ujar Kanigara Gatra terlihat cemas.
Felisia Setyarini merasakan jantungnya hendak jatuh ke perut saking terkejutnya. Ketika menyadari bahwa Kanigara Gatra lah yang ia tubruk, rasa lega menjalar pelan.