Kanigara Gatra tak menemukan siapapun di lorong yang ditunjukkan Felisia Setyarini tadi. Sekali lagi, ia tak bisa banyak berkata apa-apa karena merasa tak mau ikut campur urusan pribadi sahabatnya itu. Kumang, Sakti Soeryati atau Andini Sekartaji mungkin akan dengan lebih mudah menanggapi masalah yang menimpa Felisia Setyarini dibanding dirinya. Saat ini rasa-rasanya cukuplah saja bagi dirinya menenangkan dan ada di samping sahabatnya tersebut, membantunya melewati serangan panik atau apapun itu yang datang dengan tiba-tiba tersebut.
Pastilah begitu berat beban masa lalu yang selama ini tertahan di alam bawah sadar gadis itu. Ketika mereka akhirnya menginap di hotel ini, memori itu terpicu dan keluar ke permukaan. Itu membuat Felisia Setyarini teringat kembali kenangan buruk traumatis tersebut dan ia sadar akan masalah yang mengendap di relung hati dan pikirannya.
Tapi, selayaknya seorang Felisia Setyarini, ia kembali mampu menutupi masalah itu dan sudah benar-benar mengubah sikapnya menjadi wajar. Keriangan muncul dari wajah dan suaranya. Tawa bersemi dari rautnya, seakan tangisannya tadi tak pernah terjadi.
Kanigara Gatra menghormati ini. Ia tak mau melebih-lebihkan kejadian tadi dan bahkan tak terlintas dalam pikirannya untuk menceritakannya kepada yang lain. Felisia Setyarini sendiri, meski tak langsung mengatakannya kepada Kanigara Gatra, telah memberikan sinyal bahwasanya semua yang terjadi barusan memang sebaiknya hanya bagi mereka berdua.
“Terimakasih, Gatra. Maaf kalau aku seperti ini,” ujar Felisia Setyarini lirih saat itu. Ia masih berada di dekapan Kanigara Gatra dan tak berniat untuk melepaskannya. Wajahnya yang menempel di dada Kanigara Gatra basah oleh air mata. Ketakutan yang selama ini menaungi hidupnya bagai selimut tebal sudah terkoyak sehingga ia dapat melihat keluar dengan terang-benderang.
Kanigara Gatra memberikan yang terbaik. Meresponnya dengan diam namun merengkuh tubuh mungil gadis manis itu sehingga melesak ke dalam dadanya lebih jauh. Satu tangan yang bebas memberikan hal terbaik lainnya yang ia bisa, yaitu membelai rambut Felisia Setyarini, tidak terus-terusan, namun sekali dua tarikan panjang tetapi bermakna.
Makan malam ini, Felisia Setyarini masih kerap meliriknya, tersenyum lebar dan melemparkan tanda terimakasih ke udara agar ditangkap Kanigara Gatra dengan baik.
“Jangan bilang kalau kalian diam-diam takut sama The Niners?” mendadak Steven Ongadri membuka percakapan sembari menunggu makanan yang mereka pesan untuk dihidangkan.
“Hah, apaan tuh?” tukas Kumang.
Anggota kelompok pelarian yang lain juga ikut menunjukkan wajah bertanya-tanya.
Melihat ini, Steven Ongadri memicingkan matanya. “Serius kalian tak tahu? Lupa apa bagaimana? The Niners …, hotel tempat kita tinggal,” serunya heran.
Suara “Ooo” panjang seragam terdengar dari yang lain sebagai tanggapannya.
Steven Ongadri mendesah sebal. “Jadi, kalian takut dengan hotel itu, ‘kan?” ulangnya.
“Ya, nggak selalu, Steven. Dimana-mana, tidak hanya di hotel itu, kita selalu merasa takut dengan suatu hal yang gelap, sepi dan misterius. Hotel besar tempat kita stay itu sepertinya hanya kita yang tinggal. Padahal, jelas-jelas di pusat kota, tak satu hotel pun yang kosong. Jadi, wajar saja kalau kita bisa takut, ‘kan? Bukan masalah besar, wajar saja,” ujar Kumang yang langsung diamini dan disetujui oleh para gadis.
Steven Ongadri harus puas dengan jawaban ini. Otak usilnya tak mendapatkan hasil sesuai keinginannya. Ia berhenti membahas hal tersebut.
Setelah makan malam, kelompok pertemanan ini berkeliling kota sejenak. Mereka hang out di di sebuah warung kopi tradisional, menikmati lalu-lalang kendaraan, jejeran lampu gantung di teras pertokoan dan berbicara bebas lepas. Senyum dan tawa mengembang memenuhi atmosfir. Kehangatan merasuk ke dalam kalbu mereka bersamaan dengan cairan pekat gelap kopi.