6nam

Nikodemus Yudho Sulistyo
Chapter #15

Percakapan

Kumang memiliki pandangan yang baik pada kisah cinta Kanigara Gatra dan Andini Sekartaji. Hubungan mereka yang penuh dengan misteri tersebut sebenarnya penuh dengan rasa yang bertahan. Kanigara Gatra belum sempat mendapatkan jawaban atas rasa cinta yang ia ungkapkan kepada gadis yang ia suka itu. Namun, Kumang yakin, Andini Sekartaji sendiri pastilah merasakan hal yang sama. Rasa ini malah menjadi abadi, menurut Kumang, tak terkorupsi.

Kumang iri dengan nyali Kanigara Gatra. Laki-laki itu harusnya mendapatkan tempat yang terhormat di mata para perempuan, tidak seperti Steven Ongadri. Teman satunya lagi itu penuh dengan nafsu dan egoisme. Steven Ongadri adalah laki-laki standar, biasa, umum, yang berusaha memanfaatkan kesempatan dalam kesempitan untuk mendapatkan apa yang ia mau. Hubungan Steven Ongadri dengan sepupu perempuannya, Sakti Soeryati, jelas-jelas hanyalah kamuflase untuk dijadikan kesempatan mendekati dirinya.

Kumang memang cantik. Tidak ada seorangpun yang menyangkalnya. Mungkin Steven Ongadri merasa memiliki kesempatan yang lebih besar untuk memilikinya karena mereka berada di dalam satu circle. Tidak ada yang cukup beruntung bisa memiliki kedekatan semacam ini. Andai Steven Ongadri tahu bahwa ada alasan di semua hal dan kejadian.

Kumang tak pernah benar-benar bisa membuka hatinya untuk seorang pria. Setelah ayahnya meninggalkan ibunya sewaktu ia kecil, Kumang tak bisa memproyeksikan sosok seorang laki-laki dalam kehidupannya. Memang ia tumbuh menjadi gadis yang luar biasa dan istimewa. Kecantikannya hampir tak bercela. Sisi-sisi wajahnya selalu indah untuk dilihat dari sudut manapun. Namun, semua perhatian lawan jenis hanya terlihat palsu baginya. Ia pernah berpacaran, dua kali seumur hidup. Jujur, hubungan itu hanya untuk sarana pembentuk imej, bahwa ia bukanlah sosok yag terlalu jauh untuk digapai. Padahal, memang sungguh tak ada rasa yang begitu besar pernah tercipta.

Kanigara Gatra berdiri di tepian tanah yang melandai, di samping batang-batang tinggi pohon pinus. Ia tidak sedang memperhatikan dataran di bawah dengan deretan rumah-rumah yang terlihat begitu mungil atau jalan yang meliuk-liuk bagai ular. Ada Andini Sekartaji di depan sana. Gadis itu yang mungkin sedang menikmati keindahan alam, pikirnya. Padahal, ada sosok-sosok berkulit terbakar yang ikut hadir di sekitar tempat itu, tak kasat mata dan hanya Andini Sekartaji yang dapat melihatnya.

“Hei, ngapain disini?” ujar Kumang mengagetkan Kanigara Gatra.

“Kamu nih, Kumang,” protes Kanigara Gatra sedikit saja terkejut.

Kumang tersenyum penuh canda, sangat cantik. “Sedang lihat apa sih, Gat?” kumang kemudian mengedarkan pandangannya ke arah kemana Kanigara Gatra menatap. “Ooh, rupanya sedang menikmati pemandangan ya? Indah ya, Gat?” ujar Kumang.

Kanigara Gatra tak bisa menebak arah kalimat Kumang. Apakah sedang meledeknya karena ketahuan memperhatikan Andini Sekartaji dari belakang, atau memang merujuk pada pemandangan alam di bawah sana. Sebagai hasilnya, Kanigara Gatra memutuskan tak merespon.

“Gat. Aku boleh tanya sama kamu?” mendadak Kumang bertanya. Raut wajahnya drastis berubah menjadi serius.

Kanigara Gatra yang kini merasa aneh. Ia memicingkan matanya memandang ke arah sahabatnya itu. “Mau tanya apa sih, Kumang? Mengapa kamu perlu minta izin segala. Tiggal tanya saja, ‘kan?”

Lihat selengkapnya