“Andaikata Gatra ternyata suka sama kamu, bagaimana?” Kumang menggeser kursi berodanya menempel ke meja kerja Andini Sekartaji. Wajahnya yang cantik menggambarkan aura nakal yang manis sekaligus menyebalkan. Sepasang matanya yang bersinar itu memicing dan alisnya dimainkan.
Andini Sekartaji yang sedang tenggelam di dalam pekerjaan sebagai seorang editor melirik ke arah orang yang berbicara. Teks yang terbaca di layar komputernya mendadak tak bermakna. Kalimat tiba-tiba sahabatnya itu benar-benar telah merusakkan pertahannya. Ia kaget. Namun, dengan segala daya, ia berupaya menutupi keterkejutan dan ketidakmampuannya menjawab dengan berlagak cuek. Kebetulan sifatnya yang pendiam, introver dan cenderung pemalu itu membuat daya upayanya tertutup dengan baik. Padahal Andini Sekartaji sudah memikirkan lama mengenai perihal tersebut.
“Pasti kamu berpikir kalau Gatra itu sahabat kita, jadinya tidak mungkin punya hubungan dengan sahabat. Gitu ‘kan?” lanjut Kumang.
Andini Sekartaji masih tak bereaksi. Teks sebuah buku non-fiksi mengenai hubungan antara tren, media sosial dan demokrasi itu masih belum beranjak ke halaman lainnya. Ia sudah hampir hilang fokus pada apa yang sedang ia baca. “Kamu sudah selesai proofreadingnya? Deadline tinggal tiga hari lagi, loh,” balas Andini Sekartaji berpindah topik.
Kumang tak terpengaruh dengan tanggapan sahabatnya itu. Ia merangkulkan tangannya di bahu Andini Sekartaji. “Tenang, untuk kalian, itu pengecualian. Tidak akan ada yang protes kalau kalian nanti adalah sahabat jadi kekasih. Lagipula, kita tetap sahabatan, ‘kan?”
“Apaan sih, Kumang. Tidak ada apa-apa antara aku dan Gatra. Sama seperti aku dengan Steven, atau kamu dengan Gatra,” balas Andini Sekartaji menunjukkan rasa risih dan terganggunya.
Kumang sebaliknya senang karena akhirnya ia ditanggapi. “Loh, siapa bilang aku tidak ada apa-apa dengan Gatra? Dia anaknya baik, tulus. Susah cari cowok seperti itu. Jadi mendingan kamu terima saja kalau nanti dia nembak kamu, dibanding aku rebut,” ujar Kumang sembari terkekeh nakal.
Andini Sekartaji terperanjat. Ia tak menyangka ucapan Kumang yang satu itu membuat hatinya bergejolak. Ada rasa khawatir bila benar bahwasanya Kumang memiliki rasa terhadap Kanigara Gatra. Padahal, seratus persen ia sadar Kumang hanya bercanda dan mengolok-oloknya saja. Namun toh tetap saja, mungkin rasa cemburu itu memang telah tersemat dalam-dalam di relung-relung jiwanya. Apalagi kalau bukan sebagai hasil rasa suka yang telah ia pelihara pula.
“Sini aku bilangin ya, anak manis. Gatra itu sudah suka kamu dari lama. Persahabatan kita inilah yang membuatnya menangguhkan pernyataan cintanya. Tapi mana bisa orang lama-lama memendam rasa, bisa stres atau malah gila dia nanti. Jadi, kesimpulannya, persahabatan kita bagus adanya, tapi jangan sampai malah menjadi pengganggu hubungan dan rasa cinta kalian.” Kali ini Kumang terlihat serius.
Mendengar ini, Andini Sekartaji sekarang yang malah yang memicingkan matanya. “Bukannya terbalik, Kumang? Kisah cinta yang malah dapat merusak sebuah persahabatan?”