6nam

Nikodemus Yudho Sulistyo
Chapter #18

Air Terjun Darah

Kanigara Gatra melihat punggung Andini Sekartaji yang tertutup rambut panjang lurusnya yang jatuh bak air terjun. Gadis itu sedang berdiri membelakanginya menghadap lautan. Ombak yang merangkak ke pantai bergulir bagai roda-roda alam di permukaan lautan kemudian memecah menjadi bagian kecil-kecil yang bagai sulur-sulur tanaman menyentuhi ujung jari kaki Andini Sekartaji.

Kanigara Gatra berjalan pelan mendekat. Telapak kakinya yang telanjang terasa begitu nyaman ketika menekan butir-butir pasir yang melesak ke dalam tertimpa beban tubuhnya. Angin pantai pun mengacaukan rambut Kanigara Gatra yang tak terlalu panjang itu. Ia heran, mengapa angin malah tak berhasil mengembuskan rambut lurus Andini Sekartaji yang jelas panjangnya itu. Sebaliknya tubuh Andini Sekartaji bagai sebuah tempelan gambar kaku yang diletakkan di frame sebuah gambar bergerak.

Kanigara Gatra menguatkan jiwanya sembari terus melangkahkan kakinya mendekati gadis itu. Detik ini ia harus kembali menanyakan kepada Andini Sekartaji pertanyaan yang telah pernah ia tanyakan setahun yang lalu dan belum pernah dijawab. Mungkin Kumang benar, bahwasanya ia mungkin harus bisa menerima sosok lain di hatinya. Namun, ia perlu sebuah kepastian. Ia tak mau melangkah ke depan bila hatinya masih tertambat di Andini Sekartaji. Ia tak mau terpenjara pada perasaannya sendiri. Pastilah ada alasan mengapa Andini Sekartaji menggantung jawabannya tanpa memberikan sedikit pun petunjuk.

Kanigara Gatra yakin bahwa ia akan dapat menerima apapun kelak yang akan dikatakan Andini Sekartaji. Ia hanya memerlukan alasan. Dan itu adalah sebuah jawaban yang ia inginkan selama setahun penuh ini.

Terakhir ia benar-benar bisa berada dekat dengan gadis itu adalah kemarin, ketika mendadak Andini Sekartaji merasa sakit dan ia menemaninya ke hotel dengan …, tunggu … Kanigara Gatra mendadak lupa kejadian detilnya. Yang jelas ia masih ingat bahwa ia sempat berkomunikasi sejenak dengan sang gadis. Seakan dinding kejanggalan diantara keduanya telah perlahan terbuka. Kesempatan itu harusnya digunakan Kanigara Gatra dengan baik untuk melanjutkan untuk mencoba memasukinya.

Suara desiran angin senada dengan bunyi deburan ombak. Kanigara Gatra melangkah mendekat ke arah Andini Sekartaji yang masih berdiri di dalam diam.

“Hei, An,” sapa Kanigara Gatra. Untungnya suaranya tidak bergetar atau pecah. Mungkin karena sebelumnya ia sudah sempat beberapa kali berinteraksi dengan gadis itu sejak hari pertama perjalanan pelarian ini sehingga sejelek-jeleknya, ia tak perlu terlihat terlalu kaku di depan Andini Sekartaji.

Tak ada balasan dari sang gadis. Andini Sekartaji masih membelakangi Kanigara Gatra dengan terselubung diam.

“Maaf kalau aku mengganggu kamu. Aku tahu bahwa kita sedang menikmati liburan. Pelarian terakhir sejak, hmm …, setahun yang lalu, aku pikir. Harusnya aku move on saja, atau tidak mengusik liburan kita ini dengan kepentinganku sendiri. Tapi aku khawatir semuanya akan berbeda ketika kita selesai berlibur. Aku takut aku tak akan bisa bertemu kamu lagi dan kembali menyia-nyiakan kesempatan ini. Kamu tahu, ‘kan, sudah setahun lamanya aku memendam keinginan untuk mendapatkan jawaban kamu atas pertanyaanku dulu.” Masih tidak ada reaksi dari Andini Sekartaji. Ini membuat Kanigara Gatra semakin tak paham akan apa yang sedang bergejolak dalam hati dan pikiran gadis itu. Ia sendiri tak mungkin mundur dan memikirkan untuk melanjutkan atau tidak. Sedikit banyak Andini Sekartaji sudah mendengar sebagian besar apa yang ia katakan.

Lihat selengkapnya