Berbeda dengan seorang perempuan, laki-laki gampang sekali melupakan sebuah mimpi, bahkan yang menderanya malam sebelumnya. Mungkin tidak semua laki-laki memiliki short-term memory dalam segala perihal mimpi ini, tapi Kanigara Gatra termasuk di dalamnya. Ketika terbangun, ia tak lagi ingat dengan tepat apa yang ia mimpikan tadi malam. Bahkan, ia sudah lupa bahwa semalam ia bermimpi. Yang pasti Kanigara Gatra ingat dengan jelas bahwa kemarin, setelah makan siang sepulangnya rombongan pelarian itu, mereka kembali ke The Niners, menonton film misteri bersama di dalam kamar hotel. Sorenya mereka hanya menikmati kerbersamaan: mengobrol di café sembari menyesap kopi, berfoto dengan latar belakang perbukitan dan pepohonan dilihat dari rooftop hotel dibantu sinar temaram senja atau makan malam bersama.
Mungkin hasil menonton film misteri kemarin yang membuat Kanigara Gatra bermimpi buruk, yang toh sudah ia lupakan sama sekali.
Kanigara Gatra bangun dari tempat tidurnya, melihat Steven Ongadri masih tidur memunggunginya. Ia meraih gawai pintar dan melihat jam. Pukul lima subuh.
Kanigara Gatra turun dari tempat tidur menuju ke toilet. Ia membuang air kecil kemudian pergi keluar kamar untuk minum.
Kanigara Gatra membuka lemari pendingin yang menempel di kitchen set dan mengambil sebotol air mineral. Ia membuka dan menenggak habis isinya dalam beberapa teguk saja.
Hampir Kanigara Gatra tersedak ketika melihat belakang kepala tiga sosok yang duduk di sofa di depan televisi. Anehnya lagi, televisi tidak dinyalakan. Dari pantulan refleksi di depan layar datar televisi itu, Kanigara Gatra dengan samar namun pasti melihat wajah Andini Sekartaji, Felisia Setyarini dan Kumang.
Mengapa tadi ia tidak melihat mereka? Pikir Kanigara Gatra. “Kalian ini bikin kaget saja. Apa yang kalian lakukan jam segini, sih?” ujarnya.
Dengan masih memegang botol air mineral yang sudah kosong, Kanigara Gatra berjalan mendekat ke arah sahabat-sahabat perempuannya itu. Ketiganya kini memandang ke arah Kanigara Gatra.
“Gat, siapa diantara kami yang paling cantik menurutmu?” ujar Felisia Setyarini tiba-tiba. Suara cerianya terdengar. Wajah manisnya terlukis senyuman lebar yang terlihat dengan bantuan sinar lampu dari luar yang menembus tirai lebar dinding kaca kamar mereka tersebut.
“Iya, Gat. Siapa yang paling cantik?” kini Kumang yang bertanya. Raut wajah cantiknya serasa mengisyaratkan sebuah sarkasme. Seperti Kumang sangat yakin bahwa jawaban dari pertanyaan itu sebenarnya sudah jelas. Tentu ia adalah yang tercantik.