Hari ini, para pelarian berangkat ke pusat kota. Ada sebuah amusement park, alias taman hiburan, penuh dengan wahana yang belum lama dibangun di kota itu. Wahana-wahana baru dan beragam jenis hiburan, makanan dan spot fotografi yang bagus jelas menjadi daya tarik tempat ini. The World of Dream and Fantasy nama taman hiburan tersebut.
Kali ini Kanigara Gatra yang menyetiri mobil. Steven Ongadri tidak perlu alasan yang kuat karena Kanigara Gatra sendiri yang menawarkan dirinya untuk mengemudikan mobil MPV itu karena memang sedari awal Steven Ongadri yang selalu menjadi juru kemudinya. Tawaran ini pas betul dengan harapan Steven Ongadri yang memang sedang ingin memperhatikan Kumang di kursi belakang dengan santai tanpa harus memfokuskan diri pada jalan.
Apapun yang terjadi pada diri masing-masing dari mereka, entah kemarin atau tadi malam, hari ini di dalam mobil, semuanya kembali pada keadaan semula. Hubungan persahabatan mereka yang dahulu penuh dengan warna, keceriaan dan kehangatan itu masih terasa. Kejanggalan yang ada masih bisa tersimpan di dalam hati mereka masing-masing. Kecurigaan, rasa iri dan cemburu, serta rasa kasmaran yang membuncah sejak awal kelompok ini bertemu dalam sebuah pelarian belum bisa menemukan celah untuk mencelat keluar.
Pukul delapan tiga puluh pagi, rombongan sahabat itu berada di sebuah tempat makan. Kembali menurut itinerary yang dibuat Sakti Soeryati, mereka perlu sarapan dahulu. Aroma chicken soup, kopi hitam, dan roti panggang menusuk hidung Kanigara Gatra dan sahabat-sahabatnya. Kehangatan makanan dan minuman mengalir masuk ke tenggorokan dengan kenikmatan yang luar biasa.
Kesemuanya duduk berdampingan di depan meja panjang dengan kursi kayu bulat menghadap dinding kaca dengan pemandangan jalan dan bangunan di luar yang berdiri rapi dengan selipan pepohonan hijau yang tinggi dan rimbun. Kedamaian merasuk ke dalam jiwa masing-masing anggota pelarian tersebut.
Kumang memperhatikan interior ruangan yang café yang bergaya minimalis dan estetis tersebut. Sepasang mata indahnya tidak hanya menyelidik warna dinding, frame foto, bejana dan jambangan serta susunan bangku kursi dan meja, tapi juga menikmati semuanya. Ia senang dengan keindahan. Mungkin itu pula sebabnya ia percaya diri dan nyaman dengan dirinya sendiri. Karena, ia sendiri adalah sebuah keindahan.
Steven Ongadri tentu selalu menggunakan waktu untuk mencuri-curi pandang ke arah gadis cantik itu. Keindahan dan kelokan tubuh ramping Kumang yang sempurna seakan menyatu dengan estetisme ruangan café ini. Namun, Kumang sedang tak terlalu peduli dengan tatapan Steven Ongadri yang sudah ia ketahui sedari awal. Ia sedang tenggelam ke dalam pesona kedamaian café ini.
Kumang menyesap cappucinonya sembari iseng membaca tulisan beragam gaya hidangan kopi di sebuah poster besar berbingkai kayu yang menempel di dinding. Black coffee, biasanya terbuat dari kopi jenis Arabica. Latte, campuran espresso alias kopi murni Robusta dan susu. Cappuccino yang ia minum, campuran espresso, susu dan foam. Americano, campuran espresso dan air panas dengan perbandingan tertentu. Espresso, yang terdiri dari satu ons alias shot ekstraksi kopi konsentrasi. Doppio, tercipta dari dua shot espresso. Cortado, satu shot espresso ditambah satu ons susu. Red eye, campuran kopi murni dan espresso. Galao, kopi bergaya Portugis yang terdiri atas campuran seperempat takaran espresso dan tiga perempat susu foam. Macchiato, campuran espresso shot dan foam. Mocha, gabungan espresso, coklat dan susu. Ah, Kumang merasa harusnya ia memesan ini tadi. Atau affrogato, campuran espresso dan es krim. Café au lait, lungo, ristretto, flat white … Kumang masih membaca tulisan mengenai beragam jenis kopi di poster itu ketika ia mencium aroma yang tak asing. Bau yang ia sukai karena lembut sekaligus maskulin di saat yang sama.
Aroma itu menyelip diantara serabut bau kopi dan chicken soup yang kental.
Kanigara Gatra duduk di sampingnya. Ah, aroma tubuh laki-laki ini ternyata, sadar Kumang.