Aroma momen breakfast yang berputar di dalam café itu begitu kental, membuat para pengunjung semakin menikmati sisa makanan dan minuman yang mereka santap. Kanigara Gatra menatap sepasang mata Kumang dan berbiara dengan serius. “Sewaktu awal kita menginap di hotel ini, Felisia terlihat begitu ketakutan. Apa dia pernah cerita soal masa lalunya, selain apa yang pernah dia ceritakan secara umum dulu? Yah, soal orangtuanya bercerai, soal dia kurang kasih sayang dan sebagainya?”
Kumang menghela nafas. “Iya, Gat. Sebenarnya dia mengaku bahwa mimpi buruk itu sudah lama tidak terjadi lagi. Tapi sewaktu awal kamu …, eh …, pergi, aku rasa dia mulai mengalaminya lagi. Mungkin yang kamu ingat dulu dia sering bercerita tentang rasa paranoianya mengenai memiliki pasangan. Dan kamu ingat kejadian di mobil sewaktu kita berangkat ke sini, ketika ia mengaku kembali bermimpi buruk yang sama secara berulang-ulang itu? Jujur, bahkan Sakti tidak tahu kalau Felisia beberapa kali meneleponku meminta aku untuk menemaninya sampai tertidur. Dia sering mimpi buruk katanya. Tapi, kalau kami bertemu langsung, seperti biasa Felisia tidak menunjukkan seperti dia sedang memiliki masalah tertentu. Aku cukup sebal dan penasaran dengan apa yang sebenarnya Felisia alami. Kamu tahu sendiri lah bagaimana Felisia itu orangnya. Dia sebisa mungkin menarik diri, sebagai bentu defense mechanism mungkin, supaya tidak semakin terluka.”
Kanigara Gatra seperti sedang memikirkan sesuatu sehingga Kumang segera merespon. “Tunggu, Gat. Sebelumnya kamu yang harus cerita dulu apa yang sebenarnya terjadi. Kapan tepatnya kejadiannya waktu kamu bilang dia ketakutan itu?”
“Oke. Kamu ingat hari pertama kita sampai di The Niners? Saat kita pulang dari pantai? Felisia mendadak menangis dan mengatakan bahwa dia paham dengan mimpi-mimpi buruknya itu.”
Kumang tersentak. “Serius, Gat?”
“Iya. Aku tidak berencana untuk menceritakan ini kepada yang lain karena Felisia sendiri hanya bercerita kepadaku. Tapi aku sedikit prihatin dengan keadaannya. Setelah bercerita, aku pikir dia akan sedikit lebih baik. Tapi, kalau kau perhatikan, senyuman centilnya itu agak berkurang beberapa waktu ini,” ujar Kanigara Gatra.
Tentu Kanigara Gatra dan Kumang sendiri tak paham bahwa ketidakceriaannya bukan diakibatkan oleh kesadaran akan mimpi buruknya itu, melainkan karena mengetahui Kumang menjadi saingannya dalam memperebutkan hati Kanigara Gatra.
“Lalu, apa yang dia ceritakan soal mimpi buruknya?”