6nam

Nikodemus Yudho Sulistyo
Chapter #23

Rumah Hantu: Wajah

Ada alasan mengapa kengerian, horor, teror dan rasa takut malah menjadi salah satu tema hiburan yang paling populer di dunia. Film, novel dan karya sastra, sampai tempat hiburan semacam ini selalu ramai dengan para penggemar dan penikmat. Padahal orang-orang tersebut membeli tiket di bioskop hanya untuk ketakutan dan menutup mata sepanjang pemutaran film.

Horor dan kengerian menawarkan sisi tergelap manusia. Hantu dan mahluk-mahluk gaib yang menginap di dalam gelap menjadi semacam pelampiasan jiwa manusia atas misteri yang selalu membayang di dalam kehidupan mereka. Hantu-hantu adalah rasa takut atas masa depan yang sulit untuk diketahui oleh siapapun. Tidak ada seorangpun yang siap ketika kenyataan muncul dalam bentuknya yang paling mengerikan, yaitu hal dan kejadian-kejadian buruk yang tidak sesuai dengan harapan. Kemunculan para mahluk-mahluk mengerikan di layar biskop seakan menjadi pembenaran atas kehidupan mereka yang tak memuaskan. Mereka semua takut, di saat yang bersamaan semua juga puas. Adrenalin yang dilepaskan adalah ungkapan kekesalan pada kehidupan yang dianggap melelahkan, tidak adil atau bahkan gagal.

Apa yang membuat Rumah Hantu adalah hal yang menarik pula bagi sebagian besar para anggota pelarian ini?

Yang jelas Kanigara Gatra dan Felisia Setyarini yang mendapat giliran pertama untuk memasuki wahana Rumah Hantu yang berdiri di ujung area taman hiburan ini. Seakan Rumah Hantu memang dibangun sedemikian rupa untuk mendapatkan vibe horor dan ketakutan yang sempurna. Kesan deserted alias tertinggal, tersendiri dan terpencil menjadi daya jual tinggi bagi para pemburu adrenalin untuk membeli tiket dan merasakan sensasi rasa takut tersebut.

Sang penjual tiket saja mengenakan riasan wajah pucat dan bergaya dingin untuk mendukung suasana. Meskipun tak tampak menyeramkan, petugas itu perlu diapresiasi atas usahanya. Begitu juga dengan seorang petugas yang ada di depan pintu masuk wahana. Ia malah terlihat sama sekali tidak menyeramkan karena sepertinya tak merupakan bagian dari awak pekerja di dalam wahana yang entah berapa orang berperan menjadi jenis hantu apa saja.

Felisia Setyarini menjerit tertahan dengan sebuah pembukaan sederhana. Sosok pocong berkain putih lusuh diletakkan melintang di lantai, di jalan masuk yang disinari cahaya remang. Gadis itu merangkul lengan Kanigara Gatra dengan semakin erat karena ketakutan dan kepanikan sudah merasuk ke dalam jiwanya. Felisia Setyarini benar-benar mengandalkan laki-laki di sampingnya untuk melindunginya, tak peduli dengan fakta bahwa wahana ini benar-benar direncanakan dan diciptakan untuk menakut-nakuti belaka. Tidak ada hal yang benar-benar membahayakan.

Jelas sekali wahana yang tidak terlalu besar ini dibuat untuk secara maksimal memberikan rasa takut dan perasaan terancam. Lorong berkelok, penerangan minim, beragam ilustrasi dan aksesoris menakutkan seperti gambar kuburan atau rumah angker, serta kain-kain hitam atau putih berdarah yang menjuntai dari langit-langit.

Sebuah sosok berambut panjang acak-acakan menutupi wajah pucat dengan bedak tebal berdiri di ujung sebuah belokan lorong yang sempit. Busananya putih panjang menyeret lantai. Sosok ini mungkin ingin didefinisikan sebagai kuntilanak.

Kanigara Gatra dan Felisia Setyarini berjalan mendekat. Sang sosok membuka mata secara mendadak dan memandang keduanya dengan tajam namun dingin. Kanigara Gatra tersenyum dan melirik ke arah Felisia Setyarini yang menggelayut di lengannya bergetar bagai seekor kucing mungil yang basah kedinginan; gadis itu masih sangat ketakutan.

Lihat selengkapnya