Suasana siang ini cukup sendu tapi cahaya matahari bersinar terang, menciptakan udara yang kontradiktif. Sakti Soeryati menyelesaikan wahana Rumah Hantu beberapa menit kemudian. Ia mengerjap-ngerjapkan kedua matanya begitu melihat sinar terang setelah berada lama di dalam keremangan.
Sakti Soeryati celingak-celinguk mencari teman-temannya. Berhubung wahana ini memang terletak di ujung area, maka jalan keluar pun langsung menuju ke bagian belakang dekat dinding pembatas area lahan wahana tersebut. Bisa dipastikan tidak banyak, bahkan saat ini tidak ada seorangpun yang ada di sana. Tidak tamu wahana, tidak teman-temannya.
Sakti Soeryati mengambil gawai pintar dari dalam saku celananya, kemudian menekan panggilan telepon.
“Stev, kalian dimana?” tanya Sakti Soeryati ketika Steven Ongadri mengangkat panggilannya.
“Langsung ke parkiran saja, Sak. Semua sudah di depan. Kita langsung pergi cari makan,” balas Steven Ongadri.
“Kok, terburu-buru, sih?” protes Sakti Soeryati. Ia kemudian mengecilkan suaranya walau sedang berbicara di telepon. “Kok tega sih sayang meninggalkan aku sendirian di sini?” keluhnya dengan sengaja memanjakan suaranya.
“Iya, aku minta maaf sayang. Tapi Felisia sedang … eh …, itu, dia barusan saja menangis. Tergoncang sekali kelihatannya. Sayang kesini saja cepat,” balas Steven Ongadri tak kalah berbisiknya.
Sakti Soeryati langsung sadar dengan apa yang sebenarnya sedang terjadi. Steven Ongadri tak mampu menemukan kata yang sepadan dengan kata ‘kumat.’ Kata itu terlalu kasar dan merujuk kepada sebuah hal yang merendahkan, seakan-akan Felisia Setyarini adalah seorang penderita penyakit tertentu. Sakti Soeryati wajar dengan hal ini.
Felisia Setyarini, hampir selalu menceritakan beragam mimpi baik yang berulang maupun mimpi-mimpi buruknya yang lain selama ini dengan para sahabatnya. Ia kerap susah tidur demi menghindari kembali mengalami kejadian yang sama. Kalau sudah seperti ini, tanpa sungkan Felisia Setyarini membuat panggilan video kepada siapa saja sahabat-sahabatnya yang masih terbangun dan rela diganggu.
Kanigara Gatra selalu mengangkat panggilannya, tidak peduli jam berapa. Dalam sebuah panggilan video grup misalnya, hanya Kanigara Gatra yang masih sanggup melayani percakapan, sedangkan yang lain tetap menyalakan layar kamera mereka meski sembari tertidur. Felisia Setyarini tetap menyenangi saat-saat seperti ini, dikelilingi sahabat-sahabatnya yang seakan ikut berbaring bersamanya.
Sudah lama rasanya kejadian itu, dimana semua saling dukung membantu setiap anggota merasa nyaman dan terbantu. Berbeda dengan Andini Sekartaji yang jauh lebih tertutup. Walau tetap bersedia mencurahkan rasa sayangnya kepada para anggota persahabatan ini, Felisia Setyarini yang ceria namun penuh dengan permasalahan itu sangat terbuka dengan sahabat-sahabatnya. Ia menceritakan setiap tantangan yang terjadi pada sebuah keluarga yang broken home. Kehilangan kasih dan cinta, perhatian dan kepercayaan. Teman-temannya menjadi saudara terdekat baginya untuk bersandar dan menuangkan keluh kesah.