Angin sepoi-sepoi bertiup pelan merambat bagai sulur akar-akar tanaman yang tak kasat mata, menciptakan kenyamanan yang bersinkronisasi dengan bunyi indah gemericik air sungai di dekat sebuah pendopo lebar yang dipilih para anggota pelarian untuk menyantap makan siang mereka.
“Terus terang, mungkin kami semua disini menyumbang kesalahan, Fel. Terutama aku. Aku sama sekali tidak berniat mengerjaimu. Sebaliknya sekarang pun tak ada niatanku untuk mengasihani kamu. Tak ada seorang pun di sini yang merasa kau bermasalah. Kau tahu itu ‘kan? Kau sudah bersahabat dengan kami lama sekali,” ujar Sakti Soeryati menunjukkan penyesalannya.
Felisia Setyarini berusaha tersenyum sumringah kepada para sahabatnya setelah sisa-sisa piring dan peralatan makan telah dibereskan oleh para pramusaji restoran tersebut. “Aku paham, kok, Sak. Aku sebenarnya yang merasa tak enak hati. Kita sudah bersahabat lama dan kalian adalah orang-orang, satu-satunya, yang sangat peduli dengan diriku. Kalian tahu seluk-beluk kehidupan dan latar belakangku. Selama ini, selama bersahabat dengan kalian, masalah, ehm …, kejiwaanku … semakin membaik. Mimpi buruk dan segala trauma masa laluku seperti mendapatkan obat yang mujarab. Yaitu kalian. Hanya saja, akhir-akhir ini, ketika … Gatra sudah mulai, ehm … tidak kumpul dengan kita, sepertinya aku rindu berat dengan kebersamaan itu. Aku rasanya tidak bisa hidup tanpa kalian, teman-teman,” jelas Felisia Setyarini panjang lebar.
Sakti Soeryati langsung menubruk sahabatnya itu, memeluknya, sembari menangis. Kumang juga melakukan hal yang sama. “Aku minta maaf ya, Fel. Harusnya aku lebih bisa sensitif dengan masalah-masalahmu,” ujar Sakti Soeryati sembari terisak.
“Ih, apaan sih kalian ini. Serius, aku sudah tak apa. Mimpi burukku yang terakhir ternyata masih menyisa di pikiranku. Jadinya, pas aku lihat kru Rumah Hantu itu menakutiku, wajahnya mengingatkanku dengan sosok yang ada di dalam mimpi dan bagian dari traumaku. Rasa takut yang berlebihan membuat aku membayangkan hal yang memang sudah membuatku takut sebelumnya. Untung ada Gatra,” ujar gadis mungil itu.
Steven Ongadri menghela nafas. Ia mengedarkan pandangan ke arah teman-temannya. “Memang ada yang salah dengan wahana itu. Aku tadi sempat bersitegang dengan Kumang. Aku tidak tahu siapa yang benar, siapa yang salah. Tapi yang jelas, aku dan Kumang tidak mungkin bohong.”
Sekarang para anggota pelarian menatap Steven Ongadri heran dan bingung. Mereka juga kemudian melihat ke arah Kumang untuk mencari semacam penjelasan. Sakti Soeryati menghapus air matanya.
Kumang melepaskan rangkulannya pada Felisia Setyarini dan menatap teman-temannya yang lain. “Steven bilang kalau dia melihat kru Rumah Hantu yang berperan sebagai sosok kuntilanak mengambang di sampingnya. Padahal, aku sama sekali tak melihat apa-apa. Itu terjadi di lorong terakhir sebelum keluar dari wahana. Aku berpikir Steven sengaja menakutiku. Sebaliknya, Steven awalnya menuduh aku yang berpura-pura tak melihatnya untuk mengerjainya.”
“Ya, teman-teman. Aku tidak bohong. Sosok kuntilanak itu mengambang di sisi kananku tanpa terlihat menggunakan sehelai tali atau kawat pun. Aku benar-benar bingung bagaimana mungkin Kumang tidak melihatnya,” balas Steven Ongadri.
Angin sepoi-sepoi di siang hari menjelang sore ini mendadak berubah menjadi udara yang membuat bulu kuduk merinding.