Kanigara Gatra tak pernah menyangka dengan apapun yang akan diceritakan oleh Andini Sekartaji itu. Ia tak siap dengan hal ini. Ia bahkan tak tahu apakah yang sedang terjadi sekarang nyata adanya. Ia gamang dan bingung bagaimana merespon kisah luar biasa yang baru didengarnya itu. Selama ini ternyata ia tidak mengetahui apa-apa mengenai hubungan pertemanan mereka. Ia yang merasa telah mengenal Andini Sekartaji lamapun nyatanya hanya mendapatkan secuil kenyataan tentang gadis itu.
Harusnya hatinya hancur berantakan berkeping-keping. Harusnya ia marah, kesal dan mengamuk sejadi-jadinya saja karena tidak hanya ditolak, tetapi dibohongi dan dikhianati. Namun, ia tak merasakan hal-hal itu.
Ia berdehem mencoba membersihkan kerongkongan dan jiwanya sendiri. “Setelah sekian lama, mengapa kalian masih tak menceritakannya kepadaku dan yang lain?”
“Aku belum selesai, Gat. Ini juga salahmu yang kembali datang kemari sehingga aku harus menceritakannya semua,” ujar Andini Sekartaji pelan, datar dan dingin tetapi dengan ketegasan yang membuat Kanigara Gatra terdiam. Ia patuh bagai seekor anak ayam di depan induknya.
Selain menyukai kekuasaan dan kontrol, Steven Ongadri nampaknya juga mencintai misteri dan rahasia. Ia dengan piawai menyembunyikan hubungan tersebut dengan sangat erat dan tertutup, bahkan sangat menikmatinya. Bagi Kumang dan yang lainnya, Steven Ongadri masih merupakan sosok sahabat yang penuh dengan gairah dan semangat. Sepertinya tidak ada yang sulit untuk dihadapi bila mereka sedang bersamanya. Berbeda dengan Kanigara Gatra yang cenderung lebih hangat dan tenang, Steven Ongadri meledak-ledak dan selalu penuh kepercayaan diri. Dua laki-laki di dalam kelompok tersebut harusnya menyempurnakan semuanya. Namun, Steven Ongadri nyatanya hanya bekerja memenuhi hasrat dan gairahnya sendiri.
Suatu saat, Andini Sekartaji pulang kerja bersama Kumang dan mampir sejenak di apartemen gadis itu dan sepupunya, Sakti Soeryati. Tiga sahabat perempuan ini duduk di balkon di sore hari menjelang malam, sembari memandang ke arah jalan dengan kendaraan yang lalu-lalang. Kumang dan Sakti Soeryati menenggak secangkir cappucino. Andini Sekartaji menerima saja untuk ikut meminum kopi jenis itu walaupun ia sebenarnya tak memiliki selera khusus dalam dunia perkopian.
Kumang mereguk cairan beraroma khas itu dengan gaya bak seorang profesional. Caranya menikmati membuat Andini Sekartaji tersenyum. Gadis itu dalam posisi dan keadaan apapun tetap sama cantiknya. Padahal ia belum mengganti pakaian yang dikenakan seharian di tempat kerja, bahkan belum mandi pula.
“Kalau sudah berkumpul seperti ini, seru rasanya kalau ada Felisia,” ujar Kumang tiba-tiba.
“Sekalian kumpul dengan anak-anak cowok sekalian saja,” kata Sakti Soeryati yang duduk dengan menumpangkan kedua kakinya di atas pagar balkon.
“Yah, mana seru kalau ada mereka,” balas Kumang.
“Lho, memangnya kenapa kalau ada Steven dan Gatra?” selidik Sakti Soeryati.
“Tidak semua pertemuan harus dihadiri para cowok, ‘kan, Sak. Kalau kita berempat, cewek semua, kita bisa membahas soal-soal yang tidak bisa dan tidak boleh diketahui Steven dan Gatra. Misalnya soal cowok,” ujar Kumang sembari tersenyum tipis.
“Dasar. Kau sih memang paling berpengalaman kalau soal cowok, Kumang,” protes Sakti Soeryati.