Sinar terang Matahari yang belum sempat panas meranggas hari ini perlahan mulai melembut dengan jalannya hari. Sore dengan sombongnya datang hendak menggeser cahaya hari dan membuatnya sendu temaram.
“Jadi, itu alasannya kamu menolak aku?” Kanigara Gatra bertanya kepada Andini Sekartaji. Gadis itu berdiri di balik bayang-bayang pepohonan, menjadikan sosoknya diantara ada dan tiada. Mungkin juga kerena Kanigara Gatra sedang merasakan hal yang sama gamang dan mengambangnya.
“Siapa bilang aku menolakmu, Gat? Aku hanya tidak bisa menjawabnya,” jawab gadis itu pendek.
“Ah, benar kata orang-orang. Perempuan memang tidak bisa membuat semuanya lebih sederhana. Selama ini nyatanya aku seribu persen salah menilaimu, Andini. Sifat tenangmu itu menyimpan banyak sekali misteri dan rahasia. Aku awalnya berharap aku adalah orang yang kelak mampu membongkar habis isi jiwa dan pikiranmu yang tersembunyi itu. Kamu memang misterius, tapi aku sama sekali tak menyangka kamu juga … juga ….”
“Nakal dan liar, maksudmu, Gat?” potong Andini Sekartaji.
“Kompleks maksudku, An!”
Andini Sekartaji tersenyum samar di balik rambut lurus yang menutupi sebagian wajahnya itu. “Steven juga tidak banyak mengerti tentang aku, Gat. Dia pun tak menginginkannya. Ia hanya butuh tubuhku,” ujar Andini Sekartaji datar dan dingin.
Mendadak Kanigara Gatra merasakan kulitnya meremang. Wajah gadis yang telah ia kenal selama bertahun-tahun itu hampir tak dikenalnya. Bukan kegelapan dari bayangan pepohonan, bukan lupa sore hari yang membawa kesenduan, tetapi kekelaman emosi dan entah apa yang merasuki pikiran dan perasaan gadis itu sehingga raut wajahnya seakan ditelan lorong hitam misteri.
Di balkon itu beberapa saat di masa lalu, Sakti Soeryati berdiri dari tempat duduknya. Ia membawa cangkir cappucinonya yang telah kosong. “Aku mau bikin lagi. Ada yang mau?”
Kumang mengangkat cangkirnya yang masih berisi setengah. “Masih, nih, Sak.”