Janadi, seorang laki-laki berdarah Jawa, menikahi seorang gadis yang belum lama dikenalnya bernama Kemuning. Janadi berasal dari sebuah desa bernama Kaliabang yang terletak di kaki sebuah gunung, sedangkan Kemuning adalah gadis dari desa tetangga bernama Pancasona. Keduanya bertemu dalam sebuah acara ulang tahun desa Pancasona. Ada pasar malam dan pagelaran wayang di sana. Janadi dan teman-teman lelakinya plesir ke desa tetangga mereka itu untuk mencari kesenangan.
Ketika Janadi melihat Kemuning, ia hanya ingin memiliki gadis itu. Tidak ada alasan khusus, tidak ada ketertarikan dalam bentuk spesial lainnya. Uniknya, perasaan yang sama juga ada pada Kemuning. Sehingga tak perlu banyak bicara, lamaran dilakukan kurang dari sebulan kemudian.
Tidak lama menikah, Kemuning hamil.
Janadi yang bekerja di sebuah pabrik tebu memutuskan menerima pekerjaan baru di pinggiran kota sebagai seorang buruh pabrik kertas setelah anak perempuan mereka lahir ke dunia.
Janadi yang berpendidikan tidak tamat SMA itu ternyata memiliki keinginan dan angan-angan yang lumayan tinggi dibanding teman-teman sekampungnya. Ia ingin agar anak-anaknya kelak mendapatkan pendidikan yang baik dan tinggal di lingkungan perkotaan dengan masyarakat berpikiran luas serta modern. Keinginan yang dapat dimaklumi karena sewaktu muda, keluarganya tidak mampu dan tidak berniat untuk menyekolahkannya sampai lulus SMA. Bahkan SMA pun sudah dianggap terlalu tinggi bagi warga dan pemuda-pemuda di kampungnya.
Janadi tak banyak bicara, tetapi ia haus akan ilmu pengetahuan. Di tempat tinggalnya sebelum menikah dan hijrah di pinggiran kota, Janadi terekspos dengan jenis pengetahuan yang lain: klenik, ilmu gaib, sihir, perdukunan, santet, teluh, pelet dan sejenisnya. Ia ingin menghindari hal-hal semacam itu terutama demi melihat kelahiran sang putri. Begitu pula dengan sang istri, Kemuning, yang sama pendiamnya. Gadis desa bertubuh kurus itu meski tidak terlalu tertarik dengan ilmu pengetahuan – ia bahkan tak terlihat tertarik dengan apapun – akan tetapi setuju dengan sang suami bahwa mereka telah jenuh dengan pola kehidupan dan pemikiran masyarakat di kedua desa mereka.
Sialnya, sejauh apapun keduanya berlari dan sekuat apapun mereka berusaha meninggalkan tanah kelahiran, serabut misteri dari tempat asal menempel erat kemanapun mereka pergi.