6nam

Nikodemus Yudho Sulistyo
Chapter #37

Sofa

Malam itu Kanigara Gatra tidak bisa tidur. Terlalu banyak kejadian yang terjadi hanya dalam sehari yang memerlukan pemikiran mendalam. Beban itu membuat kepalanya berat, tetapi alih-alih mengantuk, kedua matanya malah terjaga. Beban pikiran tersebut juga membuat tubuhnya kaku dan otot-ototnya sakit. Padahal ia tidak melakukan aktifitas fisik yang berlebihan hari ini. Apa mau dikata, memang pikiranlah yang memengaruhi semua keadaan psikologis maupun fisik dari seseorang.

Pukul satu pagi, semua anggota telah terlelap. Lampu yang menyala di kamar hotelnya adalah lampu tidur yang bersinar teduh remang-remang. Namun, setelah berusaha berjam-jam bolak-balik membetulkan posisi tidur dan merekatkan kelopak mata agar tetap tertutup, Kanigara Gatra akhirnya menyerah. Ia melihat ke arah Steven Ongadri yang tidur pulas memunggunginya. Ia meraih selimut, bangun dan pergi keluar kamar.

Kanigara Gatra duduk di sofa di depan televisi. Lampu masih dinyalakan, tetapi televisi ia hidupkan dengan suara minimal agar tak mengganggu teman-temannya yang tidur pulas.

Otaknya akhirnya terbang bebas memikirkan kejadian hari ini. Ciuman Felisia Setyarini yang mengagetkannya tadi setelah makan siang itu masih membuatnya gamang. Setiap sentuhan, rangkulan, rengkuhan bahkan pelukan dari dan terhadap gadis mungil itu tidak pernah ia terjemahkan sebagai bagian dari rasa yang lain selain sayang, perhatian dan kehangatan seorang sahabat belaka. Setelah siang tadi, sebingung-bingungnya Kanigara Gatra, di dalam hati, iapun harusnya mengakui bahwa Felisia Setyarini ternyata memang memiliki rasa yang lebih dari sekadar sahabat kepadanya yang dibuktikan dari ciuman itu.

Ia bingung bagaimana cara menanggapinya. Ia tak marah atau keberatan dengan ciuman itu, meski ia sendiri jujur tak menikmatinya. Semakin dipikirkannya, malah semakin ruwet. Ia tak tahu sama sekali apa yang seharusnya ia rasakan.

Andini Sekartaji perihal lain lagi. Kenyataan mengenai dirinya yang juga baru ia ketahui langsung dari mulut sang gadis cukup mengejutkannya. Segala yang selama ini ia pikirkan hancur lebur dan pecah berantakan. Namun, sama saja, ia masih tak dapat menjelaskan bagaimana perasaannya sebenarnya atau apa-apa yang harus ia rasakan.

Dengan Felisia Setyarini, ia sangat sayang kepada gadis itu, sebagaimana rasa sayang seorang sahabat. Apalagi kadang Felisia Setyarini merefleksikan kerapuhan seorang perempuan yang seakan dalam banyak sisi mewakili Andini Sekartaji yang jauh lebih tertutup. Hanya saja, untuk rasa cinta, nampaknya terlalu jauh panggang dari api. Lalu, dengan Andini Sekartaji? Apakah perasaan itu masih ada, atau sudah berevolusi menjadi sebuah bentuk perasaan lain, ia masih tak tahu. Iapun tak bisa menghakimi orang lain.

Walaupun Andini Sekartaji telah menjelaskan semuanya dengan gamblang dan menunjukkan sisi yang tak pernah Kanigara Gatra tahu selama ini, sejatinya itu tidak pernah mengubah pandangan dan pendapat dirinya tentang gadis itu. Andini Sekartaji tidak kemudian menjelma menjadi seorang gadis liar nan nakal dan sosok bercitra buruk didepannya. Bagi dirinya, gadis itu tetap merupakan seorang Andini Sekartaji yang rapuh dan tertutup, serta menuntut perhatian.

Kanigara Gatra mendengar suara pintu terbuka. Ia memalingkan wajahnya dari televisi yang menyala terang meski tak benar ia tonton.

Lihat selengkapnya