Hari keempat. Cuaca masih sendu manja seperti hari sebelumnya. Mentari bersinar terang tak terik. Bahkan pagi itu ada lembaran kabut berlapis-lapis yang mengambang di beberapa bagian di atas bukit, di sela-sela ranting daun pepohonan tinggi-tinggi.
Kumang meregangkan otot-ototnya. Tubuh rampingnya itu menegang sejenak kemudian lemas kembali. Ia ambruk di atas tempat tidur.
“Ayo bangun, Kumang. Mandi, sarapan. Sudah jam setengah delapan ini. Sayang kalau hari kita buang begitu saja untuk malas-malasan di tempat tidur,” seru Sakti Soeryati.
Kumang tak memedulikannya. Rambutnya yang panjang berombak itu menutupi wajahnya. “Aduh, aku kok ngantuk sekali ya, Sak? Gara-gara Rumah Hantu sih. Capek teriak-teriak,” ujarnya. Tak lama Kumang sadar dengan apa yang ia ucapkan. Ia mendadak merasa tak enak karena tahu bahwasanya Felisia Setyarini yang seharusnya merasa jauh lebih lelah karena ketakutan dan traumatis.
Kumang bangun dan terduduk di atas tempat tidurnya, memandang ke arah tempat tidur Felisia Setyarini. Ia tidak ada disitu. Kumang sedikit lega ucapannya tak terdengar oleh gadis mungil itu.
“Lho, Sak. Felisia sudah bangun?”
“Dia tidak tidur di kamar setahuku. Subuh jam empat, ketika aku ke toilet, dia sudah tidak di kamar. Ada suara TV. Mungkin tidur di sofa sambil nonton TV,” jawab Sakti Soeryati.
Sewaktu para gadis menginap di apartemen Sakti Soeryati dan Kumang, atau menemani Felisia Setyarini di rumahnya yang super mewah ketika ia sedang kesepian, tidak jarang mereka tertidur di depan televisi yang dihidupkan dengan suara dikecilkan sampai pagi ketika mereka terbangun. Jadi Kumang dan Sakti Soeryati tak heran bila Felisia Setyarini mungkin tidak bisa tidur dan memutuskan menonton televisi sampai terlelap.
Kumang menggulung rambutnya sekenanya kemudian beranjak dari tempat tidur. Sembari berjalan ke kamar mandi, ia bertanya kepada Sakti Soeryati. “Apa rencana kita hari ini, Sak?”
Sakti Soeryati yang duduk memegang gawai pintarnya dan menggeser-geser layar dengan sentuhan ibu jarinya. “Setelah sarapan hari ini kita ke kota lagi. Steven pengen ke mall,” ujarnya.
“Hah? Ke mall? Ngapain, sih?” seru Kumang. “Jauh-jauh liburan kesini malah ke mall. Di kota mana saja mall ada,” protesnya.
“Dia mau kita jalan-jalan saja di mall sebentar. Ngadem. Mungkin sekalian nonton di bioskop kalau mau. Makan siang di foodcourt. Lagipula, biar kata mall ada di mana-mana, kesempatannya yang tidak ada, ‘kan? Mumpung pas sedang kumpul, sekalian saja kita hang out di sana. Ada coffeeshop bagus juga. Kita juga bisa ….”