6nam

Nikodemus Yudho Sulistyo
Chapter #41

Move On

Coffeeshop itu bernama The Sky Coffee. Cukup jelas, karena memang ia terletak di tingkat teratas yang juga berfungsi sebagai lahan parkir mobil yang bisa dicapai ke atas dengan rampa dalam rupa jalan landai berbentuk spiral dari samping bangunan mall berlantai empat itu. Di coffeeshop yang bisa dikatakan cukup luas tersebut, konsep rooftop dan sky lounge memang menjadi tema utamanya.

The Sky Coffee menggunakan banyak materi kaca sebagai dinding, jendela, atap bahkan lantai di beberapa bagian. Penggunaan kaca ini nampaknya disengaja untuk memperkuat kesan ‘terbang’: bebas seperti berada di angkasa. Di beberapa sudut bangunan yang dibuat tidak simetris tetapi estetis tersebut, diberikan tanaman hijau merambat yang tak kalah estetis. Jadi, meski delapan puluh persen bahan bangunan The Sky Coffee adalah kaca, tidak ada kesan panas, gerah atau silau.

Semua memesan kopi, kecuali Kumang yang kali ini memilih segelas besar coklat dingin. Awalnya Steven Ongadri dan Felisia Setyarini protes dengan mengatakan bahwa tempat ini adalah coffeeshop, dan kopi lah yang harus dipesan. Namun, protes itu tak lama karena kali ini Kumang yang membayari semua pengeluaran.

Para anggota berteriak kegirangan, termasuk Felisia Setyarini yang notabene berkantong tebal sehingga sebenarnya tak berpengaruh siapapun yang membayar. Bagaimanapun ini hanyalah bentuk dari keseruan semata.

Kanigara Gatra duduk bersama Felisia Setyarini di bangku khusus bagi pasangan, menempel di dinding kaca, memamerkan pemandangan gedung-gedung dan jalan melingkar di bawah yang terlihat kecil-kecil. Keduanya kompak memesan cappucino dan dua buah croissant. Atau mungkin Felisia Setyarini hanya sekadar meniru apa yang dipesan Kanigara Gatra.

Steven Ongadri, Kumang, Sakti Soeryati duduk berdampingan di satu bangku lurus panjang yang di sela-selanya terdapat tanaman merambat yang membuat suasana menjadi adem. Kanigara Gatra sempat melihat Andini Sekartaji duduk di sisi terjauh di jajaran bangku panjang yang sama.

Tidak hanya aroma kopi-kopian yang melayang di udara di dalam coffeeshop itu, tapi juga panggangan roti. Semuanya menciptakan suasanya yang menenangkan.

Felisia Setyarini melirik ke arah teman-temannya yang sudah mulai menikmati minuman mereka dan mengobrol dengan seru. Ia memalingkan wajah ke arah Kanigara Gatra dan menatapnya. “Jadi, mau cerita? Mereka tidak akan mendengar, kok,” ujar Felisia Setyarini sembari menunjuk dengan hidungnya ke arah rekan-rekan lainnya yang telah tenggelam di dalam percakapan mereka sendiri. “Lagipula, kita masih punya banyak waktu sebelum menonton,” lanjutnya.

Kanigara Gatra mengigit croissant dan menenggak kopinya. Ia menatap balik ke arah Felisia Setyarini masygul, kemudian menghela nafas. “Apa yang harus aku ceritakan, Fel? Kamu dan teman-teman tahu selama ini aku menjauh agar dapat membenahi perasaanku terhadap Andini.” Kanigara Gatra kemudian terdiam. Nampak sulit baginya untuk memutuskan akan membicarakan apa dan mulai darimana.

Felisia Setyarini yang memahami kondisi ini tidak mau Kanigara Gatra terlalu kebingungan. Ia menggenggam tangan laki-laki itu. “Jadi, Gat. Sebenarnya, kami cukup khawatir denganmu.”

Lihat selengkapnya