Sakti Soeryati membuka pintu kamar dengan lesu. Tidak ada yang memperhatikan kondisi itu awalnya. Felisia Setyarini menahan pintu yang terbuka oleh Sakti Soeryati, kemudian keluar sekalian membawa tas dan perlengkapannya. Ia melihat Kanigara Gatra duduk di depan televisi dan memutuskan untuk mendekatinya.
Sakti Soeryati duduk di atas tempat tidur dan menggaet tasnya. Ia sudah lama selesai membereskan semua baju dan perlengkapan pribadinya sebenarnya.
Kumang memandang sepupu perempuannya itu dan berhasil menangkap kesedihan dan bekas air mata di pipinya.
“Kau menangis ya, Sak? Kau kenapa?” ujarnya penuh perhatian. Kumang mendekati sepupunya itu dan duduk di sampingnya.
“Ketika kau mendapatkan perhatian dari semua orang karena kau cantik, selama hidup aku tak pernah protes. Aku tak pernah mengeluh setiap keluarga bahkan orang tuaku memuji-muji kau. Mereka bilang kau tinggi, kau manis, kau cantik dan tidak membosankan untuk dilihat, suaramu bagus, bahkan kau pun pintar. Aku tidak marah dan kesal, Kumang. Kita sudah dekat dari kecil. Tidak sekalipun kita dibanding-bandingkan, karena memang kau tak bisa dibandingkan denganku. Aku cuma, cuma butiran debu dibandingkan kau,” ujarnya.
Kumang merasakan sesuatu yang tidak beres terjadi pada sepupunya itu langsung menempel dan merangkul bahu Sakti Soeryati.
“Aku tidak iri dengan semua keunggulanmu sebagai perempuan yang good-looking. Bukankah itu sudah takdirmu? Kau pun setahuku tak malu denganku. Kita selalu bersama kemana-mana, walau aku curiga, setiap cowok yang mendekatimu akan risih dengan kehadiranku.”
“Sakti, kenapa kau ngomong gini, sih?” protes Kumang.
“Aku tak marah dan kesal denganmu, Kumang. Mungkin aku yang memang tak pantas untuk mendapatkan secuil kebahagiaan dicintai laki-laki seperti yang kau miliki. Mungkin sifat, mungkin juga tampangku ini yang membuat aku tak disukai laki-laki.”
“Saktii … aku tak bisa membiarkan kau berpikir konyol seperti ini,” kembali Kumang memrotes ucapan Sakti Soeryati.