Malam mulai menelan MPV yang dikendarai Steven Ongadri dengan cukup cepat itu. Semua anggota kelompok persahabatan tersebut duduk di tempatnya seperti biasa, tetapi dalam diam yang mencekam.
Steven Ongadri fokus pada tatapannya ke depan dan jalannya kendaraan. Kanigara Gatra duduk di samping Steven Ongadri dan melihat ke arah keluar, melihat pepohonan serta lampu-lampu di rumah dan bangunan yang tertinggal. Kumang dan Felisia Setyarini duduk berdampingan tetapi tak saling berpandangan, keduanya sama-sama memalingkan wajah, juga melihat ke arah luar mobil. Di belakang, Sakti Soeryati menahan rasa sedih dan takut. Ia duduk menjauh dari bangku kosong di sampingnya.
“Aku hanya ingin mengatakan sekali lagi agar kamu hati-hati dengan Felisia, Gat.”
Ada suara yang terdengar. Kanigara Gatra tersentak dan langsung melihat ke arah belakang. Andini Sekartaji duduk di kursi kosong di samping Sakti Soeryati. Wajahnya pucat seperti biasa dengan rambut panjang, hitam dan lurusnya yang sebagian menutupi wajahnya.
Melihat gerakan Kanigara Gatra yang mendadak ini tentu mengejutkan semua orang yang ada di dalam mobil. Sakti Soeryati dan Felisia Setyarini berteriak tertahan. Kumang berbalik dan berusaha menenangkan sepupunya yang duduk di bangku belakang dengan menggengam tangannya. Steven Ongadri merutuk, “Bangsat! Kamu gila, ya Gat?!”
“Apa dia disini, Gat? Apa dia ada di sampingku?” ujar Sakti Soeryati panik dan ketakutan. Ia sadar bila memang Andini Sekartaji hadir di dalam mobil mereka, pasti kursi kosong di sampingnya itulah tempatnya.
“An, aku sudah tahu apa maumu, aku sudah sadar. Aku sudah mendapatkan jawaban dari semuanya. Aku terima itu. Tolong, tidak perlu lagi datang dalam keadaan seperti ini,” ujar Kanigara Gatra tidak mengacuhkan pertanyaan Sakti Soeryati dan sebaliknya langsung berkomunikasi dengan Andini Sekartaji. Tentu ini juga semakin membuat para gadis ketakutan. Sakti Soeryati merintih dengan Kumang yang walau panik dan takut terus memegangi bahunya. Felisia Setyarini berteriak tertahan.
“Apa yang kamu mau sekarang, An?” tanya Kanigara Gatra.
Felisia Setyarini memandang Kanigara Gatra, kemudian dengan keberanian yang dipaksakan, ia memalingkan kepala ke balakang. Kosong, tidak ada apa-apa. “Kalau kamu memang disitu, Andini, aku mau kamu pergi. Aku tak peduli denganmu, An. Selama hidup aku telah ditakut-takuti oleh mimpi dan masa laluku yang gelap. Kalau kamu mau menambahi bebanku, silahkan saja. Kamu sudah mendapatkan kesempatan dengan Gatra tapi kamu lepaskan begitu saja. Giliran aku yang sekarang mendapatkan cinta Gatra!” serunya.
Sebagai balasan ucapan Felisia Setyarini, tidak hanya Gatra kali ini, namun semua gadis di dalam mobil ikut mendengar dengan jelas satu larik suara tawa panjang yang membuat buku kudung merinding dan nyali menciut. Semuanya berteriak dengan keras. Sakti Soeryati menangis.