6nam

Nikodemus Yudho Sulistyo
Chapter #51

Maut

Apakah sebenarnya makna dari sebuah persahabatan? Apakah persahabatan itu memang nyatanya ada, atau sekadar kumpulan orang dengan kepentingan belaka?

Kumang menggandeng tangan Kanigara Gatra. Keduanya berjalan masuk ke sebuah bangunan besar dan luas yang berlatar belakang langit biru yang bertuliskan ‘Rumah Sakit Jiwa’.

Ada tambalan perban di wajah Kumang, tepat di tengah. Dokter mengatakan hidungnya yang patah akan segera pulih bahkan tanpa bekas atau perubahan sama sekali. Padahal Kumang sama sekali tidak keberatan bila wajahnya ternyata tak rupawan lagi karena hidungnya yang bengkok atau bentuk mukanya yang tak simetris lagi. Ia lelah dan jenuh menjaga kesempurnaan. Semua sepertinya tak terasa penting lagi sekarang.

Kanigara Gatra di sampingnya berjalan terpincang-pincang. Kaki kanannya dibalut perban yang besar. Berbeda dengan Kumang, dokter mengatakan kakinya yang patah cukup lama untuk bisa sembuh. Tidak hanya di kaki, Kanigara Gatra mengalami banyak sekali cedera dan luka di seluruh tubuhnya – wajah, kepala, leher, dada dan punggung – meski tak sampai membuatnya tak bisa beraktifitas sama sekali. Untuk berjalan dengan baik, Kumang menggandeng tangannya, sedangkan tangan satunya mengapit alat bantu jalan.

Ruangan yang hendak mereka tuju di Rumah Sakit Jiwa ini adalah ruangan terbaik yang ada. Semua fasilitas merupakan kelas atas, termasuk para ahli dan perawat.

Felisia Setyarini duduk di atas sebuah kursi roda dengan pandangan mata kosong. Luka-luka di tubuhnya telah jauh membaik, bahkan lebih cepat dibanding Kanigara Gatra. Kakinya yang terluka pun sebenarnya sudah bisa digunakan berjalan, tapi Felisia Setyarini memilih untuk tidak melakukannya. Kedua orang tuanya yang bersimpuh di kanan dan kirinya tersenyum ramah melihat kehadiran Kanigara Gatra dan Kumang.

Sejenak kemudian, keempat orang itu sudah berada di ruangan lain yang berupa ruang tamu, bagian lain dari fasilitas kamar Felisia Setyarini.

“Bagaimana keadaan Felisia, Om, Tante?” tanya Kumang.

Ayah Felisia, laki-laki dengan wajah tampan dengan rambut klimis sepertiga uban itu tersenyum ramah. “Masih seperti sebelumnya, Kumang. Kadang-kadang Felisia berbicara sendiri, kadang dia sadar kalau papa dan mamanya datang. Tapi Felisia lebih banyak diam seperti yang kalian lihat tadi.”

Kumang dan Kanigara Gatra meringis prihatin dengan keadaan sahabat mereka tersebut.

“Apa sebenarnya hasil pemeriksaan dokter, Om?” tanya Kanigara Gatra kemudian.

Ayah Felisia Setyarini menghela nafas. “Menurut hasil observasi dan diagnosa para ahli, termasuk psikiatris dan psikolog, mereka sepakat telah menemukan permasalahan utama dari keadaan Felisia.”

Ibu dari Felisia Setyarini yang juga terlihat sangat cantik itu memandang mantan suaminya kemudian menyetuh lengannya pelan, seakan meminta izin untuk menyambung penjelasannya.

“Felisia sangat kesepian. Semua ini terjadi memang dimulai sejak perceraian kami. Seperti yang kami dengar dari cerita kalian mengenai kesaksian Felisia, sesungguhnya semua yang ia ceritakan tidak bisa dikatakan benar. Ada banyak hal yang membuat Felisia bingung, dan kami tidak menyalahkannya. Tahukah kalian bahwa hotel The Niners dimana kalian menginap itu adalah milik Om?” ujar ibu Felisia Setyarini.

Sontak Kumang dan Kanigara Gatra tersentak kaget. Mereka sama sekali tidak tahu hal ini.

Lihat selengkapnya