Berpuluh-puluh tahun kemudian.
Asoka kini telah berumur 72 tahun, diusianya yang senja itu ia telah lama membangun segala impian-impian Aniela yang dulu pernah Aniela impikan. Asoka telah membangun rumah dua lantai berwarna peach di tepi pantai, diatasnya ada balkon menghadap terbenamnya matahari, satu kamar diisi rak buku besar yang dipenuhi buku-buku bacaan, setiap sudut ruangan rumah dihiasi bunga asli, dan juga sebuah taman bunga kecil yang ditengah-tengahnya terdapat pohon sakura tepat berada dihalaman rumahnya.
Asoka juga membuat satu ruangan yang berisi foto-foto Aniela, jas dan gaun pengantinnya dulu, souvenir pernikahannya berupa miniatur pohon sakura dengan merpati yang hinggap diranting pohon itu dan didepan pohon sakura itu terdapat miniatur dirinya dan Aniela yang tengah duduk bersama di bangku panjang. Asoka juga menyimpan undangan dirinya dan Aniela yang telah ia pesan dulu, juga cincin pernikahan yang tersimpan rapi di sebuah lemari kaca kecil. Tak lupa juga dengan kursi kayu tua kesayangan Aniela tersimpan rapi dalam ruangan tersebut.
Asoka memutuskan untuk tidak menikah karena ia ingin menjadi seekor merpati yang hanya setia pada satu wanita, yaitu Aniela. Meskipun ia tidak tau bagaimana Aniela sekarang. Setiap pagi, hari-harinya ia habiskan dengan mengecek dan mengecat tembok yang warnanya mulai pudar, menyandarkan tubuhnya di kursi goyangnya, membersihkan miniatur souvenir pernikahannya, menyirami bunga-bunganya, menikmati gururnya bunga sakura selama setahun sekali. Setiap sore ia juga selalu diatas balkon memandang senja, dan sebelum tidur ia selalu memainkan grand piano nya. Ia selalu memainkan lagu All I Want, ciptaan Kodaline. Setelah ia bermain piano ia selalu memandang ke arah pintu. seperti dua bait lirik lagu yang ia bawakan ‘ All i want is nothing more, To hear you knocking at my door’. Asoka berharap Aniela datang mengetuk pintu untuk menemuinya.
***
Suatu hari terdengar suara ketukan pintu rumahnya. Tiba-tiba perasaan aneh muncul diiringi debaran jantung yang cukup kencang. Asoka melangkah menuju pintu itu. Sedang pintu itu masih terketuk. Semakin dekat perasaannya semakin membawanya pada kenangan-kenangan bersama Aniela dulu. Bergetar tangannya ketika menyentuh gagang pintu yang terbuat dari marmer warna peach. Ia merasakan seperti akan ada sebuah kebahagiaan dibalik pintu itu. Segera pintu itu dibuka lalu dengan spontan mulutnya berkata,
“Aniela...”
“Maaf pak, ini ada titipan surat dari Jakarta” kata tukang pos memberikan suratnya lalu lekas pergi.
Beberapa detik Asoka tertegun, hancur harapnya saat yangg dihadapannya bukanlah orang yag berpuluh tahun ia rindukan.
Asoka menyenderkan tubuhnya di kursi goyang kemudian membaca surat yang ia terima. Rupanya surat itu dari Mawar, adik perempuannya. Melalui surat tersebut Mawar berniat untuk menjual rumahnya kepada orang lain.
Asoka menutup surat lalu mengayun kursi goyangnya dengan mata yang membayang jauh entah kemana. Kursi goyang terus berayun hingga ia terlelap di kursinya.
Malam berlalu, dipagi hari ia beraktifitas seperti biasanya, menyiram bunga, bermain piano, mengecek dan mengecet tembok yang hampir pudar warnanya. Lalu pada waktu senja ia naik ke balkon. Memandang jingga langit senja, kemudian tangannya menulis sebuah puisi pada buku catatannya.
Senja Akan Berakhir, Rindu Juga Harus Segera Disudahi
Nyala jingga dilangit membara
Seperti rindu yang sudah berkarat ini
Saat ku tatap mentari yang kian merdup
Disana ada bayangannmu yang kian hilang juga
Sudah sekian senja aku saksikan
Namun ia tak pernah menyaksikan balik,
Aku dan dirimu duduk bersama disini
**
Warna jinga indah kian memudar
Mentari berhenti menyapa pecintanya
Ia tenggelam, lalu seperti biasa