Geneva membuka mata untuk melihat dunia yang sama setiap kali ia terbangun. Langit yang bertabur pendaran cahaya dari galaksi-galaksi. Hari ini, konstelasi bintang baru telah lahir membentuk kelopak bunga yang mereka kenal dengan nama stellata centuria, "bunga satu abad". Rasi bintang yang hanya akan terbit sebentar sebelum menghilang tenggelam dalam waktu yang lama. Inilah saatnya. Musim semi di planet bernama "Recta Opus" yang senantiasa diliputi kegelapan karena berada di tepi tata surya.
Semua orang pasti sibuk berbenah sekarang. Kemunculan sang bunga legendaris adalah penanda waktu yang berharga untuk sebuah kejuaraan adidaya. Ikara akan menantang setiap peserta yang bernyali untuk mengalahkan sang juara bertahan.
Geneva belum pernah melihat sosok sejati Ikara. Kata orang-orang, dia adalah manifestasi dari penguasa yang mengatur dunia mereka. Ikara adalah yang terkuat, juga yang tertua. Entah sudah berapa kali revolusi Recta Opus yang ia tempuh di bawah stellata centuria dengan rekor tidak pernah terkalahkan. Ya, sehebat itulah dirinya dan ini adalah kesempatan pertama bagi Geneva untuk membuktikannya.
"Apakah hanya ini satu-satunya cara bagiku untuk mengetahui semua jawaban dari pertanyaanku, Nicta?"
Geneva bersimpuh di depan sosok yang ia tatap pertama kali begitu ia membuka mata di dunia ini. Geneva tidak memiliki memori apa-apa tentang dirinya. Semua hal yang ia ketahui nihil. Sesosok wanita dengan penampilan paling tidak berbahaya di mata Geneva, mengedarkan pandang ke langit. Sesekali mural hitam di atas mereka retak oleh sambaran kilat dari suatu tempat yang tidak diketahui. Tidak ada yang pernah menjangkau sejauh itu, kecuali Ikara tentunya.
"Jika kau berhasil mengalahkan Ikara, maka kau akan memiliki kesempatan untuk menjadi penguasa dan selangkah lebih maju untuk melihat apa yang tidak bisa kami lihat, Geneva." Sepasang netra Nicta menerawang, tetapi gagal melampaui misteri yang meliputi seisi Recta Opus.
"Bukankah itu mustahil? Sejak dulu, tidak ada yang bisa, bukan?"
Kabut di mata Nicta menyorot kelam, berpindah ke wajah Geneva. Ada sesuatu yang juga ingin ia ketahui, tetapi tidak ternyatakan, dan harus berhenti di ujung lidah.
"Seingatku, iya. Sebelumnya, tidak ada yang masih hidup untuk bercerita."
Geneva pun menghela napas. Itu berarti kehidupan orang-orang ini tidak lebih lama dari sang juara sejati. Mungkin benar kata Nicta, sang pemenang akan dianugerahi usia dan pengetahuan yang panjang. Apakah pada akhirnya ia memang ingin menghabiskan waktu abadinya untuk menemukan sebuah jawaban?
"Nicta, bagaimana jika aku tidak ingin tahu? Aku takut, jawaban yang kucari malah berujung pada penderitaan."
"Tidak, Geneva. Kau harus mencarinya. Karena kau bukan berasal dari dunia ini. Kau jatuh begitu saja dari sebuah kapsul yang dikirim oleh langit. Kaulah orang yang paling layak untuk berhadapan dengan Ikara kali ini." Tidak bosan kiranya Nicta mengingatkan akan sebuah cerita kemunculan dirinya yang ajaib.
***
Geneva tidak mengerti. Sudah kesekian penantang maju menghadapi Ikara, tetapi semuanya bernasib sama, tumbang bahkan sebelum merobohkan satu pun pilar penjaga sang juara-Saga, Ekuina, Vortex, Hema, dan Loras. Bukan hanya adu senjata yang harus ditakutkan saat berhadapan dengan para penjaga; permainan taktik kelima monster itu sungguh mumpuni. Masing-masing penjaga berkekuatan mesin nan menyeramkan itu sepertinya mampu memprediksi gerakan lawan seolah berada dalam kepala mereka. Energi yang dimiliki oleh kelimanya pun masih jauh di atas, meskipun seluruh penantang dikumpulkan. Langkah mereka berhenti di babak penyisihan. Belum ada yang berhasil melewati kelima penjaga untuk menghadapi Ikara hidup-hidup. Mereka lebih memilih mundur dengan terluka.
Namun, semua itu tidak menggentarkan atau menyurutkan tekad Geneva. Saat tiba gilirannya, ia maju penuh percaya diri.
"Kau sendirian?" tanya Ikara pongah dari atas mimbar sang juara yang tinggi dan megah.
"Tidak. Aku membawa senjataku." Geneva menunjukkan sepasang cakram kembar yang berfungsi sebagai penyerang sekaligus perisai. Ikara tertawa penuh kesombongan.
"Mana penjaga-penjagamu?" Ia pasti berpikir Geneva terlampau bodoh atau gila untuk maju menghadapinya sendiri tanpa tim pendukung.
"Aku tidak takut dengan timmu!"
"Apa kau kira kini hanya sekadar permainan, Bocah?" Ikara memberi isyarat kepada kelima penjaga untuk maju serentak mengepung. Geneva melawan sengit dengan sebuah serangan pendahuluan. Desing cakram memilukan telinga ketika benda itu menghantam kelima penjaga dengan gaya sentripetal luar biasa dan nyaris tidak tertangkap mata hingga membentuk cincin cahaya. Sesaat, Geneva merasa ia berhasil menggertak, tetapi kelima lawannya ternyata tetap berdiri kokoh di tempat, tidak tergores sedikit pun.
Geneva memelesat ke depan dan menyasar kepala seorang penjaga dengan lempeng cakram, berusaha menebasnya. Namun, penjaga itu hanya sedikit bergeser ke samping hingga gerakan Geneva mengenai udara kosong dan ia jatuh terguling dengan keras akibat kecerobohannya sendiri. Celaka! Penjaga ini tidak hanya kuat, tetapi juga secepat kilat. Andai ia punya tim sekarang ....
Ia pun memekik ketika tahu-tahu satu tangannya telah dipuntir oleh seutas rantai bertegangan listrik yang membelit. Satu cakram terlepas. Sementara, cakram yang lain kembali berpusing membelah udara dengan sia-sia. Seorang penjaga menangkap senjata itu dengan telak. Geneva kemudian dibekuk oleh kelima penjaga dalam posisi tertekuk yang menyakitkan hanya dalam satu menit pertama.
"Huh! Pemula!" dengkus Ikara mengejek.
"Kembalilah satu abad lagi jika kau punya nyali."
***
Sakit. Seperti itulah rasanya kekalahan yang harus diderita Geneva setelahnya. Bukan hanya sekali, tetapi berulang kali. Ia bosan menghitung. Berabad-abad panjang penuh penantian, ia kembali bersama tim yang berbeda di setiap pertempuran, tetapi usahanya selalu berhenti di babak penyisihan. Kenapa para penjaga Ikara begitu kuat?
"Kau belum menyerah juga?" tanya Nicta suatu saat. Sebenarnya, Nicta sendiri mulai bosan setiap kali Geneva kembali dengan luka-luka pertempuran. Sang pendukung setia tampaknya telah kehilangan harapan yang sempat ia semai di benak Geneva.
"Tidak akan, Nicta!"
"Semakin lama, alasanmu mengikuti kejuaraan semakin tidak masuk akal. Kau ingin menang atau hanya karena berhasrat membalas Ikara?"