Semanggi.
Mimpi tentang dia datang lagi.
Dulu. Di atas perahu. Di tengah benua mengambang tiada batas, bumi dan langit hanyalah ilusi berpadu dalam satu garis. Aku dan dia pernah menyusuri satu senja. Setelah puas berleha menonton kerbau rawa, kami berpetualang membelah belantara kiambang. Ini bukan pertama kalinya kami berlayar berdua. Dia di ujung dan aku mendayung.
"Kasan," panggilnya saat itu. Dia, sahabat masa kecilku. Dulu, kami biasa pergi mengaji bersama di satu-satunya surau kampung yang terapung dari lanting. Aku sudah biasa mendengar lantunan merdu suaranya. Tatkala diminta, dia mengajari aku malu-malu. Namun, kali ini ada yang berbeda.
Wajah sendunya mengalahkan biru langit nila. Ada hati yang membeku tergugu memandangnya. Aku bertanya apakah gerangan. Tak biasanya mendung menggelantung di lekuk bibir dan matanya yang kupuja laksana lembayung.
"Jika suatu hari harus memilih, apakah kau akan pergi atau tetap tinggal?"
Aku tertawa. "Mau pergi ke mana? Aku lahir di sini dan rumahku di sini."
Bodohnya. Aku mengira pertanyaannya sangat lucu. Kala itu, aku tidak tahu dia sedang berusaha menguji atau memancingku. Aku memang tidak lebih pandai dari itik-itik serati yang tak acuh. Bisanya hanya mendengar apa kata dan mauku seorang.
"Bagaimana ... kalau itu aku?"
Mungkin aku sedikit terkejut. Dia memeluk lengan seakan takut hilang harapan. Kelak, aku baru tahu apa yang dia maksud setelah si Kasan yang tolol ini belajar akan arti kiasan.
"Kau?"
"Bagaimana?" Matanya memerah seolah dibakar mentari senja. Tidak mungkin dia menangis, pikirku kalut. Tidak mungkin kata-katanya serius. Kami telah mendarah daging di danau yang luas ini. Di atas kampung terapung yang asing akan daratan. Bahkan, suramnya penjajahan pun kehilangan rasa di tempat damai ini.
"Maksudmu, bagaimana?" Aku malah balik bertanya. Sungguh kerdil nuraniku yang dungu! Dia pun tertunduk. Lama.
"Ayahmu seorang Anang. Mau jadi amtenar pun tak susah. Dan hidup kita di sini sudah enak. Kenapa harus pergi?"
Perasaanku mulai tidak nyaman karena dia tak kunjung menyahut pernyataanku. Sebaliknya, dia membenamkan dagu di sudut perahu dan tertunduk menatap sarung kembang di bawah baju kurung. Baru aku sadar bahwa dia sedang memain-mainkan sesuatu di jari tangannya. Sekilas kulihat setangkai daun berkelopak mungil berjumlah empat. Pasti tangannya bergerilya sewaktu aku asyik mendayung. "Apa itu?"
Lekas dia sembunyikan tangan ke belakang karena aku penasaran. Sinar matanya yang ganjil tampak ketakutan, seolah aku ingin merebut benda itu darinya.
"Semanggi lagi?" tebakku geli. Matanya pun mengerjap.
"Galuh ... Galuh. Semanggi itu untuk dimakan, bukan jadi bahan renungan."
Aneh. Biasanya ia tertawa mendengar kelakarku. Namun, kali ini tidak. Dia mengangkat wajah menatapku seakan aku adalah bekantan yang bebal diberi nasihat. Aku menelan ludah. Mungkin dia tak suka cara aku memanggil namanya. Belum lama ini, orang tuanya telah mengganti namanya menjadi ke-indo-indoan. Meskipun bagus dieja, tetap aku lebih suka namanya yang dulu. Terkesan lebih akrab dan sudah kental di lidah lokalku.
"Kasan, aku mau pulang." Matanya memohon dan sedikit basah.
Hatiku benar-benar dijungkirbalikkan oleh tatapannya. Ah, dia semenjana saja. Tidak secantik bidadari memang, tetapi enak dipandang. Apalagi senyumnya, yang sayang sekali kini seolah menghilang ditelan misteri.
Aku mendayung menolak perahu untuk merapat menuju titian. Sampai pulang pun, aku gagal menafsirkan.
Mataku baru terbangun keesokan harinya. Terbelalak heran tak sanggup mencerna.
"Keluarga Galuh mau ke Deli?" Orang tuaku yang mengabarkan.
"Iya, sebentar lagi. Setelah ayahnya, Anang Anshari selesai berpamitan."
Dengan handai taulan atau pejabat pemerintahan? Tapi, bukan itu sekarang yang sedang kusut dalam pikiran.
"Kasan, lupakan saja Galuh. Masih banyak gadis yang lain. Gadis keturunan Indo pun tak mengapa." Ringan nian ibuku berbicara.
"Orang tua Galuh beda statusnya dengan kita. Mereka keluarga kesultanan, sedang kita hanyalah orang biasa." Betul. Kendati ibuku putri dari seorang Andin, salah seorang pemuka agama di Banua Lima, tetapi beliau bersuamikan seorang keturunan Dayak, orang biasa. Jadilah statusku kini orang biasa. Namun, bukan itu sekarang yang sedang mencabik dalam benak.
"Kasan ...." Ibuku mulai menemui pijar perlawanan dalam tatapan milikku. Beliau lantas berpaling pada ayahku yang sedari tadi termangu. Kulit kuning langsatnya berkilat di bawah sinar mentari yang menyelusup di balik jendela.