7 Kisah di Balik Jendela

Ravistara
Chapter #7

Mantikei dan Junjung Buih

Sepasang kaki berselop beledu warna cokelat berdiri di belakang palang melintang. Berulang kali ujung kaki itu menekuk, lalu menggaruk lantai kayu ulin hitam di bawahnya dengan tidak sabar. Kemudian, muncullah sesuatu yang ia tunggu-tunggu sejak tadi ... sebuah angkutan umum berupa perahu kayu besar dan panjang, anjungan depan dan buritannya berbentuk kepala naga. 

Oh, ia masih harus menunggu perahu yang disebut jukung tambangan itu merapat lebih dahulu. Sekilas, bagian dalamnya mirip bus dengan deretan bangku kayu di kedua lajur sisinya, tetapi bus yang ini berlayar di atas air. Perahu itu akan mengangkut puluhan siswa yang juga sedang menunggu seperti dirinya di dermaga.

Ini adalah Daha, salah satu kota pelabuhan terbesar di Banjar Bahari, sebuah dimensi paralel dari Tanah Banua, kota modern yang mulai tergerus budaya pahuluan (tradisi lama) dari nilai kehidupannya. Namun di sini, mereka masih memegang kuat gaya hidup urang bahari (masyarakat Banjar kuno) yang lekat dengan kehidupan bantaran sungai.

Langkah Junjung Buih seirama kaki-kaki lain yang berlompatan ke anjungan  dengan tertib. Ia masuk ke dalam perahu yang beratap, lalu menempati bangku yang tersedia untuk tiap dua orang siswa. Junjung Buih kebagian salah satu bilik kosong di pojok kiri, deretan yang diperuntukkan untuk para siswi. Ia tidak bisa protes karena Tsuraya, teman sebangkunya, sedang izin sakit hari ini dan terpaksa absen dari Kegiatan Tengah Semester yang diselenggarakan oleh pihak sekolah. Jadilah ia seorang diri.

Masih ada waktu untuk bersantai sebelum memulai hari yang berat, pikir Junjung Buih senang tatkala duduk di bangku berbantal beledu yang nyaman. Ditaruhnya tanggui, topi caping bundar dari daun nipah di samping bangkunya yang kosong. Sementara, ia sendiri bertopang siku di kisi jendela seraya menikmati pemandangan di luar yang masih berkabut. Permukaan air sungai yang kecokelatan seolah disulap menjadi emas bermandikan sinar lembut sang surya bak perawan keluar dari peraduan. Andai ada Tsuraya sekarang, gadis itu pasti tidak henti-hentinya berceloteh menyaksikan pemandangan ini. Pemandangan yang sama mereka saksikan setiap pagi kala berangkat ke sekolah yang letaknya ada di daratan utama. Namun, biasanya mereka hanya menyeberang sungai dengan sebuah jukung kecil, bukannya sebuah jukung tambangan besar lengkap dengan bubungan atap.

Sang kapten duduk paling depan di atas anjungan terbuka, memutar tuas kemudi sambil bersenandung lantang melantunkan sebuah tembang kuno tentang perahu. Mulut naga di belakang buritan mulai menyemburkan air sungai dengan keras bak keran air mancur. Sirip-sirip kayu di sisi jukung lantas mengayuh membelah arus, sehingga menciptakan gelombang bak geliat tubuh sang naga. Saat jukung melaju ke depan, sorak-sorai para siswa pun riuh menyambut pertunjukan ajaib kecil yang dilakonkan oleh kapten dan perahu miliknya— masing-masing berebut ke tepi untuk melongokkan kepala ke luar jendela.

Berbeda halnya dengan Junjung Buih, gadis itu kini setengah melamun. Apakah yang berbeda dalam perjalanan kali ini? Satu tugas lagi yang terasa bagai sebuah beban di pundak. Ia tidak pernah menyukai sebuah tugas perjalanan karena akan ada banyak laporan yang harus dikerjakan. Sementara, tugasnya di rumah membantu Uma masih menumpuk, yakni membuat tikar purun yang menjadi mata pencaharian utama mrereka. Abah nantinya yang akan menjual di pasar terapung di tepi daratan utama.

Kenapa mereka tidak melakukannya lewat pencarian internet saja seperti murid sekolah dari dimensi sebelah? Gaya hidup di Daha terlalu kuno dan kolot! Waktu seakan bergulir lambat di sini. Sayangnya, waktu yang lambat itu seakan selalu habis untuk melompat dari satu tugas ke tugas lainnya. Bukan berarti ia tidak suka sekolah. Hanya saja, kehidupan seorang siswa di tengah tradisi kebudayaan kuno sungguh terasa berat baginya.

Meskipun demikian, masih ada yang membuat dirinya antusias mengalami perjalanan ini. Itu adalah kesempatan untuk keluar dari rutinitas, kalau perjalanan ke sebuah museum budaya di kota tetangga bisa disebut sebagai jalan-jalan. Ah, ini masih lebih baik daripada duduk manis di dalam kelas seharian mengerjakan setumpuk tugas yang membosankan.

"Para siswa diharapkan berkumpul di titik pertemuan dan jangan berpencar!" instruksi Ibu Diyang, wali kelas mereka, sebelum para siswa beranjak sesampainya di tempat tujuan. Tampak seorang pria berpenampilan rapi dengan jas beledu tanpa kerah atau kancing berwarna hijau dan laung segitiga di kepala, telah berdiri di ujung dermaga—mungkin bakal pemandu mereka. Pria itu kemudian membantu Ibu Diyang keluar dari perahu, lalu menyusul para siswi. Sementara, para siswa berlompatan dengan tangkas bak kucing hutan, tak lupa sambil memegang tanggui masing-masing erat di depan dada agar tidak terlepas jatuh ke sungai.

Mereka berkumpul sebentar di pondok tepi dermaga. Ibu Diyang membagikan tugas dan semua berharap akan mendapatkan tugas yang mudah seperti membuat resume budaya kontemporer. Sebaliknya, resume tentang peninggalan artefak kuno akan sangat menyusahkan. Kesempatan mereka untuk mengumpulkan informasi terbatas. Tidak boleh ada satu catatan penting pun yang tertinggal atau laporan mereka akan cacat.

"Perjalanan kita kali ini akan berbeda dari yang sudah-sudah karena museum yang akan kita kunjungi sangatlah istimewa. Betul, bukan, Pak Arumin?" Ibu Diyang melempar pandang pada sang pemandu dan dibalas oleh anggukan penuh semangat. Antusiasme pria itu segera saja menulari siswa-siswi.

"Betul. Ini adalah museum sejarah budaya terlengkap pertama di Banjar Bahari. Kota Bandarmasih terpilih sebagai lokasi pendiriannya karena latar sejarah kota ini yang akan saya jelaskan sambil tur nanti," terangnya membangkitkan rasa penasaran semua orang.

"Oleh karena itu, saya tidak akan membagi kalian dalam tugas kelompok kecil seperti biasa." Ibu Diyang melanjutkan penjelasannya.

"Kalian semua akan mendapatkan satu tugas kontemporer yang topiknya akan diundi, sehingga masing-masing akan mendapat tugas berbeda—" Belum selesai kalimat tersebut, sorak kegirangan berdengung di udara. Ibu Diyang lekas bertepuk tangan meminta perhatian semua siswanya agar tenang.

"Masih ada satu tugas lagi. Kalian harus menulis sebuah esai tentang latar belakang pendirian museum ini dan tidak boleh melewatkan satu bagian penting pun yang bisa mengurangi penilaian Tengah Semester nanti."

Seruan kecewa bersahutan lantas mengundang decak tawa Ibu Diyang dan Pak Arumin. Sebuah perjalanan KTS memang tidak pernah mudah.

"Kabar baiknya semua …,” lagi-lagi Ibu Diyang bertepuk tangan untuk menarik perhatian, "kalian boleh bekerja sama untuk mengumpulkan informasi. Namun, walaupun observasinya dilakukan secara kolektif, nilainya tetap masing-masing."

Banyak pasang mata membulat. Jika benar, maka ini adalah sebuah penghematan waktu dan tenaga ekstra! Mereka bisa berbagi tugas mencatat dan tinggal dibagi-bagikan saja di akhir perjalanan nanti, maka selesailah sudah. Semringah lebar pun terulas menghiasi bibir para remaja belia itu.

"Jadi, dengarkan setiap penjelasan dengan saksama dan catat baik-baik dalam kepala!" Itulah instruksi terakhir dari Ibu Diyang sebelum Pak Arumin mengambil alih memimpin. Mereka menuju sebuah rumah panggung kayu besar dengan undakan tangga tinggi yang tidak jauh letaknya dari dermaga. Museum tujuan mereka memang dibangun khusus di luar gerbang kota Bandarmasih. Setiap pengunjung yang mendatangi tempat ini lewat jalur sungai bisa langsung mengaksesnya.

Museum itu berpagar kayu sebatas pinggang dan terkesan sangat anggun penampakannya. Bubungan atapnya sangat tinggi dengan ukiran perahu tambang di bagian puncak. Mau tak mau, Junjung Buih teringat akan jukung tambangan yang mereka naiki tadi. Jangan-jangan memang benda asli yang sengaja dipasang di sana?

Junjung Buih menepis pikiran menggelikan semacam itu dan lekas menyusul teman-temannya. Sembari menapaki anak tangga, ia mengagumi bangunan kayu yang kokoh. Buktinya, tidak ada bunyi papan berderit sedikit pun kala langkah-langkah beratnya melawan gravitasi.

Pada anak tangga terakhir, serambi depan museum yang luas menyambutnya. Sel-sel batang retinanya pun terbangun, berusaha menyesuaikan dengan pencahayaan yang agak redup karena waktu masih pagi.

Selintas terdengar suara Pak Arumin menjelaskan ditimpali bunyi "oh" kekaguman yang sebagian besar keluar dari mulut para siswi. Mereka berkeliling di depan sebuah patung lilin seukuran manusia yang awalnya Junjung Buih kira adalah seorang penjaga museum.

Patung itu berdiri gagah di pusat ruangan; tinggi badan sedang, menggunakan rompi hitam tanpa lengan bersulam. Motif sulurnya berkelindan rumit, disepuh warna emas. Patung itu memakai celana hitam polos selutut; kaki telanjangnya berada di atas sebuah lanting kecil dari batang bambu yang diikat. Laung kecil berwarna hitam dengan motif sulur serupa menaungi wajahnya yang tampan rupawan. Matanya berbinar bak bintang pada malam yang gelap gulita.

 ***

 Sayangnya, pemuda tampan dalam patung itu tidak tersenyum. Sebaliknya, sorot matanya seakan menyiratkan keprihatinan mendalam. Perkara apa gerangan yang sedang ia pikirkan? Junjung Buih memiringkan sedikit kepalanya dan berusaha menyejajarkan tatapan mata mereka berdua, seolah mencari jawaban. Untungnya, ia tidak perlu berjinjit karena tinggi mereka nyaris sepantar. Bukan hanya itu ….

"Saya beri tahu sebuah fakta, semoga ini mampu menginspirasi kalian." Cerita Pak Arumin seakan terngiang kembali di telinga Junjung Buih. Tangannya mengusap lilin berbentuk sebuah kitab yang dipegang tangan kanan patung itu di depan dada. Tertera sebaris aksara kuno bertuliskan “SIAK MUARA”. Ia mencoba mengingat sisa penjelasan dari sang pemandu kemudian, "Sang perintis ini, seandainya saja dia hidup di generasi ini, maka usianya akan sebaya dengan kalian."

Tokoh inilah yang menjadi pusat perhatian mereka selama beberapa sesaat. Para siswi yang rata-rata berusia tujuh belas tahun saling mendorong, berebut ingin sekadar menyentuh patung lilin itu. Tingkah mereka lantas mendapat cibiran dari para siswa yang merasa tersaingi oleh keberadaan sebuah benda mati. Pak Arumin dan Ibu Diyang sampai kewalahan menenangkan. Gawat kalau sampai ada bagian patung yang patah akibat serbuan tangan penuh semangat. Sementara, Junjung Buih hanya berdiri diam di tepi kericuhan dan tidak berniat untuk ikut ambil bagian.

Namun, inilah yang diam-diam ia lakukan sekarang. Menyisihkan diri saat yang lainnya mengekori Pak Arumin ke bagian satwa langka penghuni asli hutan bakau di pesisir sungai Barito; spesies bekantan berhidung panjang yang hanya terdapat di Kalimantan bagian tenggara. 

Jika diperhatikan dengan saksama, wajah pemuda ini sungguh tampan. Baru kali ini ia bertemu "orang" setampan ini. Alisnya tebal melengkung sempurna bak busur, nyaris menyatu di pangkal hidung. Namun, bukan kesempurnaan fisik itu yang menjadi daya tarik perhatiannya, tetapi cerita yang terkandung di baliknya.

Selarik kekaguman mulai tebersit di hati Junjung Buih ketika mendengarkan sebuah penuturan sejarah dari Pak Arumin tentang masa lampau ....

Berabad generasi silam, sebuah kitab kuno berjudul "Siak Muara" mengubah wajah kehidupan Daha, Bandarmasih, dan kota-kota pelabuhan di sekitarnya. Di zaman ini, masyarakat golongan bawah harus puas dengan hidup sebagai "budak" dalam hierarki terendah masyarakat pahuluan. Kaum mereka terlalu melarat untuk ikut merantau atau berdagang, apalagi menimba ilmu ke negeri seberang. Alhasil, mereka menjadi bagian masyarakat yang terpinggirkan. Untunglah, ada seorang ningrat rendah hati yang peduli pada nasib orang-orang ini. Ningrat itu bernama Mantikei.

Mantikei kecil senang belajar dan ia menguasai berbagai ilmu dengan cepat berkat kepandaian dan ketekunannya. Pengetahuan tinggi yang ia peroleh berasal dari kesempatannya mengikuti kunjungan-kunjungan dagang sang ayah ke negeri seberang. Setelah menginjak usia remaja dan siap mendampingi kegiatan bisnis sang Abah, juragan besar dari Bandarmasih, Mantikei mulai memutuskan sikap. Ia terbiasa hidup dalam keprihatinan terhadap penguasaan sebagian kaumnya atas sebagian yang lain. 

Dengan mengabaikan kesedihan sang Abah tatkala harus ditinggal oleh putra satu-satunya, Mantikei pun lebih memilih sebuah pengabdian daripada kemewahan hidup. Ia berkelana dari satu dermaga ke dermaga, satu bantaran sungai ke seberang bantaran sungai, hanya bermodalkan sebuah lanting kecil menyusuri arus Sungai Barito untuk mendermakan pengetahuan yang ia miliki.

Sampai di bagian ini, lidah Pak Arumin terasa kelu dan pria itu berhenti bertutur. Mereka tidak tahu apa yang terjadi karena air muka pemandu mereka tampak serius sepanjang cerita. Hanya saja, mereka seakan dapat mendengar ada beban berat dalam setiap tarikan napas pria itu.

"Lalu, apa yang terjadi pada Mantikei, Pak?" tanya salah seorang yang kritis.

Pak Arumin menghela napas dan jatuh termenung sejenak. Pemikiran apa pun yang menguasai benak pria itu, terungkap lewat sebaris senyum keprihatinan, sama seperti ekspresi yang terukir pada wajah patung Mantikei.

"Mantikei hidup selamanya dalam Kitab Siak Muara seperti yang sudah sering kalian pelajari di sekolah selama ini," tuturnya penuh misteri. Akan tetapi, jawaban dari pria itu rupanya belum cukup menuntaskan rasa penasaran yang telanjur menyesaki hati para siswa. Namun, mereka hanya bisa menyimpannya karena Pak Arumin lantas mengajak melanjutkan ke bagian lain sebagai upaya pengalih perhatian dan penghiburan diri.

Serentetan teka teki mulai menghantui Junjung Buih. Kenapa patung ini ditempatkan di pusat serambi depan seakan-akan ia adalah bintang museum ini? Bagaimana kelanjutan cerita Mantikei tadi? Gadis itu mencoba mencari tahu dengan membaca prasasti singkat di samping lanting. Namun, isinya tidak jauh berbeda dengan penuturan Pak Arumin sebelumnya-boleh dikatakan bahwa Pak Aruminlah yang menjiplak keseluruhan isi prasasti tersebut. Merasa tidak menemukan jawaban, Junjung Buih lantas mulai memperhatikan patung itu lebih lekat.

Itulah kenapa sekarang ia masih di sini, di depan patung lilin Mantikei.

"Kenapa kau bersedih? Seharusnya kau bahagia karena apa yang kauperjuangkan dulu tidak sia-sia."

Mungkin ia terlihat gila karena sedang mengajak bicara sebuah patung. Junjung Buih terpekur malu di depan patung itu, seakan-akan yang sedang berdiri di hadapannya adalah Mantikei yang asli.

"Maafkan aku .... Dulu, aku sempat berpikir bahwa semua yang kujalani terasa berat. Tapi kini, aku merasa tidak layak. Aku lupa untuk bersyukur. Andaikan tidak ada orang sepertimu, entah apakah aku bisa menikmati rasanya menjadi siswa dan belajar di sekolah. Oleh karena itu ... terima kasih, Mantikei. Maaf, hanya ini yang bisa kukatakan kepadamu. Sekali lagi, terima kasih. Tolong, jangan bersedih lagi, di mana pun sekarang dirimu berada."

Junjung Buih mengangkat wajah dan memperlihatkan kesungguhan di matanya kepada sebuah patung yang ia tahu tidak akan bisa berekspresi maupun berbicara. Permintaan maaf itu sekarang lebih ditujukan kepada dirinya sendiri, karena ia sadar bahwa Mantikei tidak akan bisa lagi mendengar kata-katanya setelah berlalu beberapa generasi. Pemuda dalam patung ini pasti telah tiada.

Entah apa yang mendorongnya, tangannya lantas bergerak terangkat ke arah wajah si patung, berusaha untuk menyentuhnya, dan berharap bisa menghapus kesedihan di wajah Mantikei. Namun sebelum niat itu terlaksana, sebuah panggilan tertuju untuknya dan menghentikan jemari Junjung Buih.

"Junjung Buih?"

Itu adalah suara Ibu Diyang. Junjung Buih terkesiap dan lekas menurunkan tangan selagi Ibu Diyang mendekatinya sambil menatap penuh tanda tanya.

"Apa yang kaulakukan di sini?"

"Oh, eh, saya ... maaf, Bu. Saya hanya ingin tahu bagaimana rasanya tekstur sebuah patung lilin." Malah sebuah jawaban yang canggung dan aneh terlontar dari mulutnya, tetapi ia tidak bisa memikirkan alasan yang lebih bagus.

Ibu Diyang tersenyum simpul menatap patung di hadapan mereka. "Setiap orang yang datang ke sini pasti tertarik untuk menyentuh patung ini, seakan ada daya tarik yang memanggil kita untuk melakukannya."

Junjung Buih pun terbeliak ketika Ibu Diyang dengan entengnya mengelus-elus tulang pipi Mantikei yang padat berisi dan belum dihiasi oleh tonjolan-tonjolan tulang keras. Menampakkan jelas sisi keremajaannya.

"Andai suatu saat saya punya anak laki-laki, saya akan beri dia nama Mantikei," cetus Ibu Diyang penuh harap.

Oh, Junjung Buih merasa malu karena tadi ia sempat memikirkan yang tidak-tidak. Ibu Diyang sudah berkeluarga dan sedang mengharapkan kehadiran momongan, tentu saja wali kelasnya berharap demikian.

"Kalau kamu, apa yang kamu harapkan? Apakah kamu berharap akan memiliki seorang teman seperti Mantikei? Atau bahkan pasangan seperti dirinya kelak?"

Apa? Apa yang baru saja ditanyakan oleh Ibu Diyang? Semburat merah langsung menghiasi pipi gadis itu karena Ibu Diyang mengajukan sebuah pertanyaan spontan yang bersifat pribadi. Wanita itu menatap lurus pada dirinya masih dengan senyum yang seakan tidak pernah pudar. Namun, Junjung Buih menggeleng. Ia menjawab dengan tegas, "Saya ingin menjadi seperti Mantikei!"

Jawaban darinya justru menciptakan riak perubahan di wajah Ibu Diyang. Wanita itu menggeleng, lalu menyentuh bahunya pelan. "Junjung Buih, Mantikei adalah Mantikei, dan kamu adalah kamu. Jadilah dirimu sendiri."

Ia tercekat. Kenapa Ibu Diyang memberikan ekspresi yang sama seperti halnya Pak Arumin? Sebenarnya, ada apa dengan Mantikei?

"Ayo, kita kembali ke rombongan. Pak Arumin sedang menerangkan sejarah Kitab Siak Muara sekarang, bahan utama laporan kalian nanti," ajak Ibu Diyang sembari membocorkan isi tugas mereka. Rupanya, bukan Mantikei yang menjadi bahan laporan KTS mereka kali ini, tetapi karyanya.

 ***

 Butuh waktu seharian bagi mereka untuk menyisir seluruh artefak budaya yang ada di dalam museum. Pertanyaan paling menarik justru tercetus dari salah seorang siswa yang kelihatan paling masa bodoh selama mengikuti tur. "Kenapa ada patung lilin di Banjar Bahari? Bukankah itu teknik cetakan dari dimensi pertama, Tanah Banua?"

Lihat selengkapnya