7 Kisah di Balik Jendela

Ravistara
Chapter #8

Extra Part: Atelier 4 Musim

“Pengetahuan adalah jendela ke mana saja.”

  Seorang gadis bermata jeli seperti lelehan madu menyapukan kuasnya dengan cekatan ke atas sebuah kanvas seukuran dinding besar. Bolak-balik ia naik turun untuk menggeser tangga bambu, beralih dari satu titik ke titik lainnya. Pekerjaan ini nyaris terasa mustahil untuk diselesaikan dalam satu malam. Dan kesulitan itu harus ditambah lagi dengan seorang wanita yang mondar-mandir memeriksa kemajuan proses lukisan yang sedang ia kerjakan. Nyonya Amrita, nama wanita itu, sekaligus pemilik bangunan megah tempatnya tinggal sekarang. Sebuah pesanggrahan indah di tengah hutan dekat danau.

“Andara, apa kaupikir burung kolibri di tangkai bunga itu terlihat mati? Aku ingin melihat sayapnya mengepak seolah-olah ia hidup.”

Gadis seniman itu menghela napas dalam. Ini sudah ke sekian kalinya Nyonya Amrita memberi sebuah saran yang terdengar halus tapi merepotkan baginya. Wanita ini mengkritiknya dengan sopan, tapi apa yang ia minta dengan menghidupkan lukisan itu terasa mustahil.

“Kecepatan kepakan seekor kolibri bisa sampai dua ratus kali per detik, Nyonya. Dalam kondisi normal, kita tak bisa melihatnya dengan jelas. Jika Anda mau, saya bisa membaurkan efek gerakannya, tapi itu berarti sayapnya akan tampak samar.” Andara memberikan pilihan bijak. Nyonya Amrita berpikir sejenak. “Lakukan sesukamu saja jika begitu.”

Hm, waktunya yang berharga habis untuk disela oleh beberapa komentar dari wanita ini kemudian. Untunglah ia cukup sabar melayani permintaan Nyonyanya ini yang banyak sekali. Namun, waktunya tak cukup banyak untuk meladeni semua.

“Kapan lukisan ini akan selesai, Andara?” Pertanyaan itu terdengar sudah tak sabar dan penuh semangat.

“Berikan waktu bagi saya semalam suntuk. Nyonya silakan tidur dengan nyenyak dan tinggal melihat hasilnya besok,” janji Andara untuk meyakinkan, walaupun dalam hatinya ada sedikit gamang. Dengan kecepatannya sekarang, ia mungkin tak bisa tidur malam ini. Dan matahari telah tenggelam sejak beberapa waktu yang lalu. Nyonya Amrita menawarinya makan malam, tapi Andara lebih memilih untuk menyantap kue ketannya sambil terus melukis dan berkutat di depan kanvas.

“Baiklah.” Nyonya Amrita menyerah dan menguap. Tampaknya wanita itu mulai mengantuk, lalu pamit. Itu artinya keadaan menjadi lebih tenang dan Andara akan bisa menikmati kesyahduan melukisnya tanpa gangguan lagi.

Hari sudah menjelang larut malam, Andara bekerja sangat keras untuk menuangkan sebuah kreasi indah di atas kanvas, tapi kali ini pikirannya seakan buntu. Permintaan Nyonya Amrita sebelumnya untuk dibuatkan lukisan empat musim mulai terasa mustahil bagi gadis itu. Bagaimana ia bisa menjabarkan sesuatu yang belum pernah ia lihat dan rasakan? Andara tidak pernah berkunjung ke negara empat musim sebelumnya!

Dan cobaan untuknya tak berhenti sampai di situ. Seduhan kunyit yang ia gunakan untuk membuat rona jingga pada daun musim gugur dan matahari senja tumpah mengotori kanvas. Selarik cahaya benderang dari jendela yang terbuka menerpa lukisan setengah jadinya. Andara menghela napas, ia butuh rehat sejenak.

Lihat selengkapnya