7 Kisah di Balik Jendela

Ravistara
Chapter #9

Extra Part: Iceberg

“Yang tampak kecil di puncak, menyimpan misteri besar di dasar.”

  Aku bekerja di salah satu perusahaan yang merajai ranah retail di Tanah Air. Sebagai karyawan di perusahaan besar, tentu aku harus fleksibel menerima risiko seperti mengalami mutasi alias dipindahtugaskan ke cabang-cabang lain dengan frekuensi yang tak menentu. Padahal, jujur saja aku kelimpungan dengan sistem seperti ini.

Bagaimana tidak? Aku yang baru bekerja setahun sudah dua kali mengalaminya. Selama itu, aku harus mulai proses adaptasi dari nol lagi, meskipun diriku tak bisa dibilang anak baru. Dan kini aku dipindah lagi untuk ketiga kaliya. Tak tanggung-tanggung, aku ditempatkan di pinggiran kota, dekat area pasar terminal, pula. Apes nian nasib ini. Tak ada lagi gadis-gadis "perkuliahan" yang bening memanjakan mata seperti di tempatku dulu. Semua tergantikan oleh para lelaki yang tiap hari cuma beli rokok, nongkrong mengaso atau mengopi.

Sejak itu, hari-hariku menjadi kasir serasa suram. Satu-satunya yang membuatku sedikit bersyukur adalah keberadaan Riska, rekan kerjaku yang sudah berada di sini satu bulan lebih awal dariku.

Riska, seniorku ini, anak perantauan, tidak cantik-cantik amat. Namun, dia memiliki keunggulan mutlak, yakni bentuk tubuh di balik seragam merahnya yang aduhai nyaman dipandang oleh para pria. Dan setelah kupikir-pikir, sepertinya Riska inilah yang mengundang kehadiran pria-pria langgangan di tempat kami.

Tak hanya itu, keunggulan Riska yang lainnya adalah mulutnya. Bukan karena keseksian bibirnya bak Angelina Jolie, melainkan kecerewetannya yang membahana. Seperti saat ini, telingaku sedang menjadi korban polusi kata-kata toksik mubazirnya yang memiliki efek samping memusingkan dan bikin mual perut. Padahal, aku sedang asyik-asyiknya melamunkan nasibku dan tak ingin diganggu.

Dikelilingi oleh kehidupan yang tidak mendukung batinku, aku hanya pasrah. Beruntung, Tuhan seolah tidak menutup mata melihat hamba-Nya yang sedang kesusahan dan bertindak. Kegersangan hati dan pikiranku sirna tatkala seorang pelanggan yang telah aku nanti memasuki toko kami.

Akhirnya, dia datang. Si gunung es.

Itulah yang terbayang pertama kali di benakku saat bertemu dengannya. Dia cantik. Tidak se-bohay Riska, memang, tapi ada sesuatu yang menggelitik saat memerhatikan wajahnya yang dingin seolah tak tersentuh itu.

“Ada tambahan lagi? Sekalian isi ulang pulsa dan voucher—“ Tak biasanya, hari ini basa-basiku sedikit lebih panjang. Aku sebenarnya paling malas menyanyikan lagu kebangsaan yang biasanya sering dinyanyikan oleh rekan-rekan perempuanku. Tapi, kali ini aku hanya ingin mengunci sepasang mata dingin itu agar menatap mataku sehingga dia bisa melihat pesona wajahku ini yang tak pernah gagal membuat lawan jenis gelagapan melihatku pertama kali. Namun, wanita itu tak bereaksi apa-apa. Setelah manik matanya menyorot padaku sesaat, ia menjawab tanpa suara dengan menggeleng tegas. “Tidak.”

Ouch, apakah dia bisu? Sedikit geram, aku menarik keranjang belanja di konter kasir dan mulai memindai barcode barang-barang di dalam sana. Beberapa makanan ringan, perlengkapan mandi, dan … ah, sial! Wajahku bersemu merah ketika meraih sekotak underwear wanita di tanganku. Aku sontak mengerjap untuk menetralkan desiran dalam darahku. Mau tak mau aku melirik ke arah pinggulnya untuk mencocokkan ukuran yang tertera di layar monitor, tapi gagal karena dia mengenakan kemeja longgar yang menyembunyikan sempurna lekuk tubuhnya. Meskipun begitu, aku bisa menebak kalau wanita ini sepertinya bertubuh ramping.

“Totalnya seratus delapan ribu rupiah. Mau sekalian tebus murahnya?” Hari ini aku memang terlalu banyak bicara. Aku ikut-ikutan perempuan sejenis Riska yang biasanya bawel menawarkan ekstra belanja pada para pembeli yang datang ke retail kami. Aku-hanya-ingin-mendengar-suara-wanita-ini. Itu saja. Karena itu berarti aku bisa melihat bibir yang tertekuk dingin itu bersedia untuk bergerak dan membagi rekahnya sesaat pada pria yang lapar mata ini.

Mimpi.

Alih-alih bicara, wanita itu menggeleng tegas dengan ekspresi dingin sebeku gunung es. Nyaris kutendang stan kasir karena kesal. Aku pun mengambil kembalian pada kotak kasir yang otomatis terbuka setelah kututup nota pembelian. Dan wanita itu menerima uang yang kusodorkan padanya dengan cekatan tanpa menyentuh jariku sedikit pun. Dia ninja? 

Lihat selengkapnya