”Hati adalah pembeda antara manusia dan boneka.”
“Kau baik-baik saja, Cartenz.”
Wanita di depanku berjingkit melepaskan pad-pad elektroda yang menempel di kepalaku. Ia merapikan sedikit rambut yang berserakan menutupi mataku lalu menatapku puas, kemudian aku meregangkan otot-ototku yang dipaksa bekerja melampaui batas hari ini. Matanya terpaku padaku sebelum akhirnya mengerjap dan membalikkan punggung membereskan data-data di monitor yang baru saja ia kerjakan tadi.
Wanita ini … tanganku tergantung di udara ingin menyentuhnya. Sikapnya sekarang lebih lunak dibandingkan kami pertama kali bertemu dulu. Aku masih bisa mengingat sorot kebencian dari matanya. Keberadaanku adalah sebuah kesalahan, katanya. Namun, kini aku telah menjelma menjadi sosok pahlawan yang bisa ia hargai. Ia terkejut saat berbalik aku telah mengurungnya rapat ke tepi meja kerjanya.
“Cartenz …, jaga sikapmu ….” Suaranya mendidih dalam nada samar seraya sejauh mungkin melengkungkan punggung menghindari tubuhku. Bagiku, itu adalah sebuah perintah mutlak. Aku pun mundur mencipta jarak di antara kami. Setelah emosinya terkendali, ia bergegas meraih jubah panjang yang tersampir di tiang penggantung. “Pakai bajumu.” Ia lemparkan benda itu menutupi tubuh polosku.
“Beristirahatlah. Besok masih ada tugas untukmu,” perintahnya lagi.
Aku memasang jubahku. “Kau tidur di sini lagi?” Ia tak menjawab dan kuartikan itu sebagai “iya”.
“Elora, kapsulku terlalu besar untuk kutempati sendiri.” Wanita itu menepuk meja gusar atas keluhan yang senantiasa kuulang-ulang itu.
“Baiklah, selamat malam.” Aku pun meninggalkan dirinya.
***
Aku membenci pekerjaan ini, seolah-olah seluruh hidupku dibayar untuk bergelut dengan orang-orang sekarat, dan sebagian besar mati. Tim regu penyelamat, itu tugasku sekarang. Lebih spesifik lagi: penyelamat orang yang terjebak di gunung dan di tengah ombak ganas lautan. Seringkali bahkan aku juga menyelam untuk mengevakuasi jenazah orang-orang yang tenggelam.
Dan hari ini, aku harus melanjutkan pencarian korban hilang di Puncak Cartenz, puncak tertinggi gunung salju abadi di Irian Jaya, Indonesia. Sayang, hanya tinggal julukan karena pemanasan global telah melelehkan gletser terakhir di Cartenz satu tahun yang lalu. Dan sialnya, para ilmuwan dan topografer yang meneliti ke sana sekarang dinyatakan hilang dua hari lalu. Kami harus cepat-cepat menemukan dan memastikan kabar mereka. Hidup atau mati.
“Lihatlah ini, aneh sekali. Jalur pendakian tebing dan tambatan tali tak ada masalah. Di mana kesalahannya?” Seseorang dalam tim bertanya bingung.
“Cuaca?”
Sementara itu mataku awas menatap kedalaman tebing dan seketika sebaris kalimat keluar dari mulutku. “Mereka ada di bawah.”
Begitulah, tak butuh waktu lama bagiku untuk menemukan mereka. Segera saja misi pencarian orang hilang berubah mendadak menjadi evakuasi jenazah di dasar tebing yang curam. Ah, human error. Aku sering merasa kesal kenapa mereka tak berhenti saja melanjutkan penelitian yang sia-sia? Diteliti berapa kali pun, bumi tak akan banyak berubah dan Puncak Cartenz telah lama kehilangan gletsernya. Manusia memang serakah dan tak legowo menerima kenyataan. Dan alasan bodoh inilah yang kemudian membuatku mengamuk di shelter di kaki Pegunungan Jaya Wijaya.
“Orang-orang ini sungguh bodoh dan tak mau berhenti, mereka hanya mengantarkan nyawa!”
“Hei, mereka para peneliti, berhentilah bersikap kasar, Cartenz!”
“Ya, dan kalian diam saja melihat mereka mati, bukan?”
“Apa aku harus menyetrummu dulu agar diam?!”
Seseorang segera menghentikan pertikaian kami. Ia bahkan menuding dadaku dengan bunyi berketuk.
“Apa kau sadar siapa dirimu? Kau hanya seorang tim penyelamat. Bukan tempatmu untuk menghakimi!” Tatapan mataku dan semua orang beradu dalam api unggun yang sekaligus menjadi pengusir dingin. Sementara sebagian memilih diam menyesap kopi yang diseduh untuk menghangatkan darah. Saat itulah aku murka. Aku menyepi beberapa meter dari tenda dan menikmati waktu sendiri. Ingin rasanya berhenti dari pekerjaan yang memuakkan ini.