Rendra berharap mudah-mudahan hari ini tak bertemu Mat Peci. Juga tak bentrok dengan Aziz, Imam dan Hambali. Kenapa dipanggil Mat Peci? Tahu nggak, sebenarnya namanya Akhmad Zaenal, karena kepalanya tak lepas dari peci yang warnanya sudah agak kusam hingga dia lebih dikenal dengan Mat Peci atau Peci saja meski saat ini dia sudah tidak memakai peci di kepalanya, tetap saja orang menyebutnya Peci.
Berbeda dengan Ismail, meski tubuhnya tambun namun tak kalah gesit luar biasa dari Mat Peci, karena jam terbangnya lebih banyak dari yang lain. Dia kuli angkat di kawasan pasar ikan. Sebenarnya dulu ia masih sempat sekolah tapi terhenti sampai kelas lima saja karena tak ada biaya. Jika hari sedang cerah, Ismail sering nongkrong di area parkir pasar besar dengan topi laken warna hitam kebanggaannya. Gayanya seperti bos mafia mirip di film-film Hongkong atau mirip bos geng Alpacino yang legendaris itu.
Mereka adalah anak-anak yang jahil, sering mengejek dan mengganggunya dengan sebutan “Bule Lamno”. Kenapa dipanggil “Bule Lamno”? Rendra sebenarnya bernama Narendra Satria, namun teman-temannya sering memanggil Rendra saja. Meski dia bukanlah seorang artis terkenal, tapi Rendra juga punya nama beken, apalagi ditambah dengan kondisi fisiknya yang agak berbeda dengan masyarakat Aceh pada umumnya.
Rendra berperawakan seperti orang bule, tinggi, kulitnya putih, hidung mancung dan bermata biru. Rendra lahir sebagai putera nelayan di Desa Kuala Daya dan merupakan anak tunggal. Mata biru yang dimilikinya merupakan jejak genetis dari kakek pihak ibunya yang berdarah Portugis.
Usut punya usut, konon, menurut cerita ibundanya, setelah pelayaran berminggu-minggu dari tempat asal sekitar lima abad silam, kakek moyangnya bersama rekan-rekannya terdampar di Kerajaan Negeri Daya. Penguasa setempat saat itu, Pahlawan Syah, memerintahkan bala tentaranya menemui pasukan Portugis yang terdampar tersebut.
Tak ayal, perang pun pecah antara balatentara Daya dan pasukan asing yang berambut pirang, berhidung mancung dan berkulit putih. Akhirnya, tentara asing itu pun takluk di bawah kekuasaan bala tentara Pahlawan Syah yang kemudian menawan mereka di sebuah kamp berpagar tinggi yang dikenal saat ini sebagai Kampung Meunanga.
Pahlawan Syah yang ketika itu resah oleh perang sipil dengan beberapa kerajaan tetangga seperti Pase dan Pidie memanfaatkan keberadaan tentara Portugis, yang kebetulan mengerti soal senjata api, untuk membuat mesiu bagi armada perangnya. Karena tak ada pilihan lain, ditambah lagi tidak adanya bantuan dari negeri leluhur, mereka akhirnya tunduk pada perintah Pahlawan Syah dan hidup berbaur sebagai orang Daya. Beberapa diantaranya menjalin kasih dan kemudian menikah dengan penduduk setempat. Salah satu keturunan mereka diantaranya adalah keluarga Rendra. Komunitas mereka dikenal sebagai “Bule Lamno”.
Meski berperawakan seperti “bule”, keluarga Rendra yang hidup dari hasil melaut ini merupakan muslim yang taat dan penganut Islam yang fanatik. Mereka sempat mengalami tindakan diskriminatif karena dianggap berbeda dengan warga setempat. Keluarga Rendra, termasuk keluarga “Bule Lamno” lainnya, tidak terlalu nyaman dengan sebutan yang beredar di masyarakat seperti si mata biru atau si rambut pirang.
Hal ini disebabkan mereka telah tinggal di daerah yang sama selama berpuluh-puluh tahun serta mengerjakan aktifitas yang sama dengan penduduk asli. Sebagai ungkapan kekesalannya, Rendra pernah menghitamkan rambut pirangnya dengan campuran minyak kelapa dan arang sukun agar perbedaan fisik dengan penduduk asli di sana tidak terlalu mencolok.
Sambil memanggul satu keranjang ikan tongkol, Rendra menyusuri lorong-lorong di dalam pasar ikan, namun pikirannya ke mana dan di mana. Lamunan nya terhenti saat tiba di ujung lorong pasar. Rendra menganggukkan kepalanya pada Imron, salah satu preman pasar ikan. Dengan tubuh yang kekar, gempal, berotot ditambah lagi warna kulit yang kehitaman dengan tato di sana-sini, menambah sangar perawakannya, siapapun yang baru pertama mengenalnya harus berpikir dua kali untuk terlibat urusan dengannya.
Acapkali dia sering mengganggu para pengunjung maupun pedagang ikan di situ. Dulu sih pernah dia ditangkap aparat kepolisian saat membuat keributan di pasar ikan karena mabuk. Sebenarnya dia adalah anak buah juragan Fadli yang merupakan saingan juragan Mukarim dalam berdagang ikan. Seringkali mereka terlibat perang dingin terutama dalam persoalan penentuan harga kulakan ikan dari para nelayan.
”Hei, Bule, kemari!” Imron memanggilnya dengan suara serak dan melambaikan tangannya pada Rendra.
Dia memang sering memanggil siapapun dengan sembarangan, asal bunyi atau asbun dengan maksud mengejek. Namun sepertinya Rendra tak menghiraukan panggilannya. Dan hal itu tentulah membuat Bang Imron sedikit emosi.
“Hei, Bule, apa kamu tuli. Berhenti!” bentak Imron sambil menghampiri Rendra. Sementara Rendra hanya bisa diam mematung.
”Hai, apa kamu tuli, dipanggil nggak mau jawab… ngeloyor aja!” cecar Imron.
”Ngng… anu…. Ngng.. anu.. ” balas Rendra.
“Anu, anu.., kamu bisu ya..” bentak Imron.
”Maaf Bang, aku terburu-buru!” jawab Rendra.