Bu Salamah memeluk Rendra, tampak butiran-butiran bening keluar dari kedua matanya, “Rendra, apa yang sedang terjadi? Apa kamu bermain perahu lagi ya?”
“Tidak, Bu. Sudah, nggak terjadi apa-apa kok, aku tadi barusan terjatuh, terpeleset di pasar karena lantainya licin,” jawab Rendra dengan terpaksa tidak menceritakan kejadian yang sebenarnya agar ibunya tidak cemas.
“Bu, maafkan Rendra, uang dari setor ikan ke juragan Mukarim hilang,” kata Rendra berusaha menyembunyikan kejadian sebenarnya.
“Sudahlah, nggak apa-apa. Uang hilang dapat dicari tapi keselamatanmu lebih penting bagi ibu. Nanti jika juragan Mukarim kemari, ibu akan memberitahunya. Kamu tidak usah khawatir, ibu masih punya simpanan uang untuk kita makan beberapa hari ke depan,” kata Bu Salamah.
“Sudahlah Bu, nggak usah bilang ke juragan Mukarim, nanti merepotkan. Tidak enak Bu, juragan Mukarim sudah terlalu baik kepada kita,” sahut Rendra.
Sesaat Bu Salamah memandangi wajah Rendra yang tampak pucat itu, air hujan telah membuatnya kedinginan, belum lagi luka di dahinya, pasti perih sekali. Bu Salamah tahu kesedihan yang dirasakan oleh putranya itu.
“Kamu mandi dulu, nanti biar ku obati luka di dahimu,” kata Bu Salamah.
“Ayo... mandi dulu, nanti setelah makan, ibu akan menunjukkan sesuatu padamu!” perintah Bu Salamah.
“Apa itu Bu?” tanya Rendra penasaran.
“Sudahlah, mandi dulu, nanti kamu akan tahu. Ayo cepat mandi!” kata Bu Salamah dengan senyum di wajahnya.
Di kitaran hari yang menjelang di ufuk barat. Riak langkah berarak pergi mengitari hari bergantikan sang malam dengan senyum tersembunyi di balik awan di ufuk barat yang memerah akan berganti. Langkah-langkah yang bergayut bergegas mengitari hari tak kenal lelah, ditemani temaram lampu minyak di balik tirai jendela yang angkuh menyibakkan warna-warna gemerlap, di sudut hari yang lelah berdiri dalam sepi. Di atas bale-bale bambu sederhana, seperti biasa mereka menghabiskan waktu untuk bercengkrama sehabis menunaikan sholat Maghrib berjamaah.