Dalam keheningan malam itu, Bu Salamah menatap wajah sang buah hati satu-satunya itu. Malam ini suntuk banget, tampak Rendra lelap sekali tidurnya. Benar-benar pulas.
“Ya Allah, aku tak bisa merangkai kata-kata indah. Sebab aku bukan penulis hebat. Namun bila Engkau tanyakan kepadaku apakah aku mencintainya, maka akan kujawab bahwa cintaku kepadanya seluas laut dan setinggi langit. Meskipun aku tahu, aku belum bisa membahagiakannya dari sisi materi,” rintih Bu Salamah dalam hati. Tak terasa air mata membasahi pipi Bu Salamah.
“Ya Allah, sungguh Engkau telah menguji kesabaran kami. Kami telah datang dan berjuang di jalan-Mu, kami telah mempertaruhkan semua kenikmatan dunia hanya untuk mengabdi pada-Mu, namun seakan Engkau masih menguji ketabahan kami. Ya Allah tolonglah kami, berikanlah kami kekuatan untuk melalui semua ujian-Mu. Kami yakin akan pertolongan-Mu. Ampuni kami jika kami kurang sabar dan terus mengeluh,” rintih Bu Salamah. Dia cium kening anak laki-laki satu-satunya itu. Ada rasa kebahagiaan dalam rongga dadanya.
“Teruslah membesar anakku. Jadilah manusia yang berguna bagi bangsa dan negara ini. Bila esok sang mentari pagi kan bersinar lagi, akan kamu lihat secercah harapan yang lebih baik dari hari kemarin,” ucap lirih Bu Salamah.
Malam itu, Bu Salamah teringat pada almarhum suaminya. Sungguh di matanya, suaminya adalah segalanya. Dia adalah sosok suami tangguh dan seorang pelaut yang gagah berani. Meski kini dia telah tiada, tak menyurutkan semangat Bu Salamah untuk bertekad menyekolahkan Rendra sampai setinggi-tingginya.
Ayam jantan sudah berkokok, pertanda pagi menjelang. Segudang harapan telah menanti mereka. Ketika sang mentari mulai tersembul di kaki langit, saat para nelayan sudah melabuhkan perahunya usai melaut pada malam hari, sebuah lantunan panggilan shalat pun mulai menyambut datangnya hari. Burung-burung camar pun berkicauan merdu di antara suara deburan ombak pantai, menandakan sebuah kehidupan di kampung nelayan akan segera di mulai. Pekatnya hawa dingin pun mulai memudar. Kilauan sinar sang surya pun menembus butiran-butiran embun pagi.
Pagi buta belum tersentuh matahari, dingin pun masih menusuk. Bu Salamah sudah siap dengan aktivitasnya memasak untuk sarapan pagi, goresan wajan dan suara didihan minyak goreng mulai menghiasi dapur kecilnya. Suara berisik itu membangunkan Rendra. Ia pun lekas bangkit dari ranjang tidurnya dan bergegas menuju ke dapur untuk membantu ibunya.
“E… Kamu sudah shalat Shubuh belum?” tanya Bu Salamah.
“Iya, sebentar lagi Rendra shalat, tapi setelah bantu ibu ya… !” jawab Rendra.
“Jika sekolah kamu pintar, itu sudah bantu ibu, kok. Sudah kamu mandi!” perintah Bu Salamah.
“Iya, maafkan Rendra ya bu, jika Rendra belum bisa membuat ibu bangga,” seloroh Rendra lirih
“Nggak kok, kamu sudah membuat ibu bangga, justru ibu yang minta maaf, jika selama ini belum bisa menuruti semua keinginanmu!” ucap Bu Salamah.
“Rendra, janganlah kau menangis karena keadaanmu saat ini, bisa jadi kelak kau akan menangis kenapa kau dulu menangis. Jalani hidup ini dengan kesungguhan hati dan apa adanya namun jangan lupa berusaha dan berdoa,“ lanjut Bu Salamah dengan nasehatnya.
“Iya Bu, Rendra janji, jika suatu saat nanti Rendra pasti bisa membuat ibu bangga!” kata Rendra sambil memegang tangan ibunya.
“Iya, iya... ibu percaya. Doa ibu selalu menyertaimu. Sudah, sana…kamu shalat dulu, nanti keburu siang. Kamu khan harus ke sekolah. Sebentar, ibu akan siapkan air wudlu dulu, tolong jaga pepes ikan tongkol ini jangan sampai diambil kucing..... ” kata Bu Salamah.
Kemudian Bu Salamah menimba air di perigi, meski terpisah tapi letaknya hanya sepelemparan pandangan dari rumah. Suara timba ditarik berderit keras, ini karena kumparannya jarang diminyaki. Ia mengisi air ke dalam gentong lumutan yang bagian samping bawahnya sudah dilubangi, lubang kecil itu disumpal dengan potongan kayu yang tentunya disesuaikan dengan ukuran lubang, agar air tak mancur keluar. Dan gentong itu sendiri diletakkan di sebuah batang kayu yang dipasang berdiri sebagai penopang, kira-kira tingginya setengah badan orang dewasa. Sehari-hari gentong itu dijadikan tempat menampung air untuk berwudhu.
“Rendraaaa…. cepetan ambil wudhu, gentongnya sudah ibu isi… !” dengan sedikit berteriak, Bu Salamah memanggil Rendra.
Lalu tak lama dari pintu belakang rumah, muncullah Rendra. Setelah mengambil air wudhu, ia kembali memasuki rumah, melewati dapur yang kecil dan berjelaga di sana-sini.
******
Sayup-sayup terdengar nyanyian Rendra dari dalam kamar.
“Aku seorang kapiten, mempunyai pedang panjang, kalau berjalan.. brok.. brok.. aku seorang kapiten…!” nyanyian Rendra dengan keceriaan pagi yang meruang, sambil sesekali menghentakkan sepasang sepatu boat milik mendiang bapaknya yang masih kebesaran.
“Pak… lihat, aku seperti seorang kapiten.. he.. he.. !” gumam Rendra seorang diri di depan cermin sambil tersenyum. Nampak baret coklat pramuka di kepalanya.
“Bu… apa aku mirip bapak?” tanya Rendra sambil berlari kecil menghampiri ibunya yang sedang memasak di dapur.
“Hm.. mirip nggak ya.. ?” goda Bu Salamah.
“Bu.... kata orang aku ini separuh mirip ibu dan separuhnya lagi mirip bapak. Hm..tapi Rendra ingin mirip bapak saja,” kata Rendra.
“Kenapa kok nggak milih mirip ibu saja?” tanya Bu Salamah.
“Biar gagah mirip bapak. Bu, kalau sudah besar nanti Rendra ingin jadi tentara!“ jawab Rendra dengan posisi badan tegap menirukan foto bapaknya yang tergantung di tembok.
Mendadak raut wajah Bu Salamah berubah sedih. Dia teringat pada almarhum suaminya, semua kenangan tujuh tahun yang lalu, saat sebuah kecelakaan kapal laut menewaskan suaminya ketika sedang melaut.
“Kenapa ingin jadi tentara?” tanya Bu Salamah.
“Bu, aku ingin ikut membela negeri ini. Rendra ingin mengabdi pada negara. Aku ingin seperti bapak menjadi seorang pahlawan,” jawab Rendra dengan bangga.
Mendengar ucapan anak laki-lakinya itu, tak terasa butiran-butiran bening memenuhi kelopak mata Bu Salamah.