Siang itu, cuaca seperti sedang tidak bersahabat, awan hitam berarak-arak menutupi terik sinar matahari, angin laut yang panas berhembus cukup kencang menyibak gelombang, memberi sentuhan riak pada ombak di pesisir pantai, menyisir kampung nelayan yang terletak dikaki bukit UjungSeudon, wilayah Desa Kuala Daya, Kecamatan Lamno, Aceh Jaya tersebut.
Menggoyang perahu-perahu kayu yang berlabuh, menari-nari di bibir pantai bagaikan liukan sang penari ronggeng mengikuti irama gesekan angin, mengembangkan layar-layar perahu dan mengibarkan sang saka merah putih pada ujung tiang kayu penyangga layar, membawa kebanggaan dan pesan tak tertulis bahwasannya nenek moyang mereka merupakan sang pelaut ulung.
Tidak berselang lama, terdengar gemuruh guntur berkepanjangan di kejauhan, mirip suara bergulirnya ban raksasa di jalan aspal yang bergelombang dan berlobang, atau mirip suara gemuruh banjir bandang ataupun suara air bah tsunami, berkolaborasi dengan deburan ombak laut yang menghantam batu-batu karang di pesisir pantai, mengiringi hujan yang turun siang itu. Suasana menjadi sedikit menyeramkan, gelap, sunyi, sesekali terlihat kilatan petir seakan-akan hendak membelah langit. Kilatan seperti cakar-cakar sang pencabut nyawa.
Cuaca ekstrim akhir-akhir ini cukup meresahkan para nelayan di wilayah Kuala Daya. Mereka memutuskan untuk tidak melaut mencari ikan dalam beberapa hari terakhir. Keputusan untuk melaut harus mereka pikirkan seribu kali bahkan berjuta kali jika tak ingin bercengkrama dengan maut.
Tingginya air pasang yang disertai badai serta ombak bisa mengancam nyawa dan menenggelamkan kapal yang mereka gunakan untuk melaut. Untuk mengisi waktu mereka selama tidak melaut, banyak para nelayan membersihkan jaring, membenarkan kapal serta alih profesi sebagai buruh. Namun mereka sangat berharap cuaca membaik dan mereka bisa kembali mencari ikan.
Sementara itu, di atas pasir pantai, tak jauh dari sebuah perahu kayu tua yang terus bergoyang mengikuti irama angin, Marwan mengemasi bekal-bekal pelayaran, jala dan kail, juga keranjang-keranjang ikan, lalu menaikkannya ke geladak perahunya. Tanpa diduga tiba-tiba ombak besar menghantam samping dinding perahu, sehingga perahu mengalami guncangan keras. Marwan yang saat itu sedang berpegangan pada bibir perahu hampir saja terpental ke laut, sementara itu keranjang-keranjang yang dia tenteng terlepas dan hanyut terseret ombak laut yang cukup besar.
Dengan cepat Marwan mengejarnya dan berhasil meraihnya. Tapi sial, yang tertangkap hanya satu keranjang yang paling kecil. Dengan cepat dan sekenanya dia melemparkan keranjang itu ke perahu, sehingga hampir saja mengenai juragan Mukarim yang berdiri tak jauh dari bibir perahu, merapikan letak tali layar perahu dan jaring-jaring ikan.
Melihat kondisi Marwan yang kepayahan, juragan Mukarim dengan tangkas meloncat ke arah Marwan dan mengambil alih keranjang-keranjang yang dibawanya. Setumpuk keranjang yang kokoh itu memang terasa berat karena basah. Sampai di dinding perahu tubuh Marwan sudah hampir kehabisan tenaga, lemas dan lunglai.
Kemudian juragan Mukarim melemparkan tumpukan keranjang itu ke geladak perahu lalu dengan kedua tangannya yang kekar berpegangan pada bibir perahu, dia mengangkat tubuhnya dan meloncat ke geladak. Sementara itu, Marwan kelihatannya sudah tidak kuat untuk bertahan, jangankan untuk naik ke atas perahu, mengangkat tubuhnya sendiri saja dia tidak mampu. Melihat itu, juragan Mukarim kembali membantunya, menarik tangan Marwan ke atas geladak.
"Wah payah kamu ini. Pelaut macam apa kamu! Baru begitu saja sudah mau pingsan, klepek... klepek… hehehe.. ! " ucap juragan Mukarim.
Menanggapi ucapan majikannya itu, Marwan hanya bisa tersenyum pahit sambil terus merebahkan tubuhnya di lantai kayu, di atas geladak.
“Maaf juragan, aku sudah nggak kuat lagi. Maklumlah juragan, tadi malam kebagian tugas ronda, jadi aku belum tidur semalaman!” jawab Marwan.
“Kamu ini banyak alasan saja! Sudah kamu tidur dulu, untuk persiapan nanti malam!” perintah juragan Mukarim.