Sementara itu di kediaman Bu Salamah………..
“Rendra, kamu sudah sholat Maghrib belum?” tanya Bu Salamah.
“Belum Bu,” jawab Rendra.
“Sudah sana, sholat dulu, sebentar lagi pasti juragan Mukarim datang,” kata Bu Salamah.
“Iya, sebentar Bu,” sahut Rendra.
"Ayo, lekas, kamu harus siap-siap. Ibu sudah siapkan jaket dan minuman jahe panas biar badanmu hangat dan tidak masuk angin!” lanjut Bu Salamah.
“Iya, terimakasih Bu,” timpal Rendra.
Bu Salamah menimba air di perigi, meski terpisah tapi letaknya hanya sepelemparan pandangan dari rumah. Terdengar suara gesekan antara roda besi dengan tali karet timba yang ditarik berderit keras, ini karena kumparan pelornya jarang diminyaki. Kemudian Bu Salamah menuangkan air dalam kaleng timba plastik ke dalam gentong lumutan yang bagian samping bawahnya sudah dilubangi, lubang kecil itu disumpal dengan potongan kayu yang tentunya disesuaikan dengan ukuran lubang, agar air tak mancur keluar. Dan gentong itu sendiri diletakkan di sebuah batang kayu yang dipasang berdiri sebagai penopang, kira-kira tingginya setengah badan orang dewasa. Sehari-hari gentong itu dijadikan tempat menampung air untuk berwudhu.
“Rendraaa…. cepat ambil wudhu, gentongnya sudah ibu isi… !” dengan sedikit berteriak, Bu Salamah memanggil Rendra.
Lalu tak lama dari pintu belakang rumah, muncullah Rendra. Setelah mengambil air wudhu, dia kembali lagi memasuki rumah, melewati dapur yang kecil dan berjelaga di sana-sini. Sejenak kemudian Rendra sudah hilang di balik pintu kamarnya. Tak lama berselang terdengar pintu rumah yang terbuat dari kayu jati diketok dari luar.
“Assalamu ’alaikum.…. !” suara laki-laki menyampaikan salam dari luar pintu sambil sesekali mengulangi ketokan pada pintu.
“Wa’alaikum salam. Siapa di luar?” jawab Bu Salamah.
“Mukarim !” jawab lelaki itu.
“O… juragan Mukarim, tunggu sebentar!” kata Bu Salamah menghampiri pintu dan segera membuka daun pintu.
“Silahkan masuk juragan,” Bu Salamah mempersilahkan masuk lelaki itu yang tak lain adalah juragan Mukarim.
“Iya, terimakasih,” sahut juragan Mukarim.
“Dimana Rendra?” tanya juragan Mukarim.
“Masih sholat maghrib, juragan. Silahkan duduk. Juragan mau minum apa, kopi, teh atau wedang jahe?” ujar Bu Salamah.
“Terimakasih, nggak usah repot-repot. Sudah terimakasih,” jawab juragan Mukarim.
“Kalau wedang jahe.. gimana, juragan?” desak Bu Salamah.
“Boleh nggak apa-apa, jika kamu memaksa,” jawab juragan Mukarim.
Setelah cukup lama menunggu, akhirnya Bu Salamah keluar dari dapur sambil membawa secangkir wedang jahe di tangannya.
“Silahkan di minum, juragan. Maaf, juragan menunggu cukup lama,” ucap Bu Salamah.
“Nggak apa-apa, terimakasih. Ku minum ya…?” ujar juragan Mukarim.
“Silahkan juragan, mumpung masih panas, membuat badan terasa hangat,” kata Bu Salamah.
Sesaat kemudian mereka sama-sama membisu, diam tanpa kata, entah apa yang ada dalam benak mereka masing-masing. Sesekali mata juragan Mukarim melirik perempuan cantik yang duduk tepat di hadapannya. Dan lagi-lagi jantungnya berdebar, seolah dia tak ingin pandangannya beranjak dari wajah Bu Salamah. Sementar Bu Salamah sering menunduk, dengan pandangan mengarah ke lantai.
Dan tiba-tiba Bu Salamah mendongakkan kepalanya dan tak ayal lagi kedua mata mereka saling bera. Menyadari bahwa dirinya sedang diperhatikan oleh juragan Mukarim, Bu Salamah hanya tersenyum simpul. Dan senyum dan tatapan mata Bu Salamah, seketika membuat salah tingkah juragan Mukarim.
“Bb.. b.. bagaimana keadaanmu, Salamah?” tanya juragan Mukarim dengan gugup. Sebuah pertanyaan untuk menyembunyikan perasaannya pada Bu Salamah.
“Alhamdulillah baik juragan. Bagaimana dengan tangkapan ikannya, juragan?” tanya Bu Salamah.
“Ya begitulah, menurun drastis. Kamu khan tahu sendiri, cuaca sedang buruk dan tidak bersahabat. Mudah-mudahan malam ini cuaca sedikit mendukung,” jawab juragan Mukarim.
“Saya doakan, semoga juragan memperoleh ikan yang banyak malam ini,” Bu Salamah menimpali.
“Bagaimana, apakah kamu mengijinkan Randra ikut melaut malam bersamaku?” tanya juragan Mukarim lagi.
“Iya, saya ijinkan tapi tadi siang dia jatuh dari sepeda jadi ada sedikit lecet-lecet di kulit kakinya. Tapi katanya dia kuat!” ujar Bu Salamah.
“O iya, kalau begitu biar malam ini dia tidak usah ikut melaut dulu, kapan-kapan saja. Biar lukanya sembuh dulu!” kata juragan Mukarim.
“Tapi dia tetap bersikeras ngotot untuk ikut juragan, melaut malam ini. Ya begitulah juragan, pendiriannya sangat kuat, jika Rendra menginginkan sesuatu pasti sangat sulit untuk dicegah,” sambung Bu Salamah.