"Andai saja cuaca terus menerus bersahabat, tentulah hasil tangkapan ikan kita bisa melimpah, ya!" ujar Toyib.
"Ya, mungkin dengan begitu hidup kita bisa sedikit senang!” sahut Iskandar.
“Tapi kita tahu, kini panen ikan baru seminggu saja sudah habis, dan hasil kita tidak selalu banyak. Dulu, sebelum ada pukat harimau milik juragan Fadli, panen ikan dapat kita nikmati sampai kira-kira tiga bulan. Dan dari hasil tangkapan itu, hampir semua keinginan kita dapat terpenuhi. Tapi sekarang, kita semakin miskin saja. Untuk membeli perlengkapan perahu saja sangat sulit," keluh Marwan.
“Iya betul apa yang diucapkan Marwan,” Bahrul menimpali ucapan Marwan.
"Kenapa ya pemerintah disini tidak bisa menghentikan kegiatan juragan Fadli. Kalau begini terus, kita makan apa, masak harus minum air laut terus….” keluh Marwan.
“Asin… hehe.. ” celetuk Bahrul.
“Padahal sekarang kan sudah ada undang-undang yang melarang pukat-pukat harimau beroperasi di daerah kita!" sambung Iskandar.
"Ya, tapi apa gunanya undang-undang kalau perampok-perampok ikan itu masih dapat dengan bebas dan seenaknya saja beroperasi di daerah kita," lanjut Marwan dengan nada kesal.
"Tapi, situasi hanya semakin membuat nelayan kecil seperti kita tidak berdaya," sahut Bahrul.
"Itulah, Rul. Situasi ini hanya semakin memojokkan kita saja," ucap Marwan.
Karena sangat asyiknya bersenda gurau, mereka tidak menyadari bahwa perahu mereka mulai memasuki daerah sarang ikan. Juragan Mukarim memerintahkan anak buahnya untuk bersiap-siap. Marwan, Toyib, Iskandar dan Bahrul mulai sibuk melayani alat-alat penangkap ikan.
Namun tidak hanya juragan Mukarim saja yang kaget, mereka semua dibuat terperangah dengan kehadiran perahu besar milik juragan Fadli. Bagaimana bisa mereka melaut dalam waktu yang sama dengan tujuan yang sama pula. Ada yang ganjil dengan semua ini.
Saat perahu milik juragan Mukarim semakin mendekati perahu besar milik juragan Fadli, mendadak juragan Fadli bertepuk tangan dengan keras dan berteriak agar mereka meninggalkan kawasan itu yang memang terlarang bagi nelayan yang menggunakan pukat harimau. Namun rupanya juragan Fadli tak menggubris teriakan juragan Mukarim. Namun tak lama kemudian, tiba-tiba perahu besar milik juragan Fadli itu segera menyingkir ke tengah dengan kecepatan sedang.
Melihat itu, para awak perahu juragan Mukarim bersorak gembira, mereka mengira juragan Fadli takut atau mengalah, namun semuanya itu tak terlalu mereka hiraukan, yang terpenting bagi mereka, perahu saingannya telah pergi menjauh. Beberapa saat kemudian, Marwan dan teman-temannya semakin sibuk dengan ikan-ikan yang tertangkap jala dan kail mereka. Tiga keranjang sudah hampir penuh dengan ikan.
******
Malam pun berlalu hingga pagi pun tiba, sudah waktunya menuju daratan. Namun tiba-tiba mereka kembali dikejutkan oleh kedatangan perahu besar milik juragan Fadli yang melaju dengan kecepatan tinggi ke arah perahu mereka. Mengetahui hal itu, juragan Mukarim segera berdiri dan menanti apa maksud juragan Fadli.
Ketika mereka sudah sangat dekat dengan perahu milik juragan Mukarim, salah satu anak buah juragan Fadli, Imron yang sedang berdiri di haluannya berteriak keras, "Hei juragan Mukarim, cepat tinggalkan tempat ini! Aku baru saja mendapat kabar bahwa di darat baru terjadi gempa. Aku khawatir sebentar lagi gelombang laut akan semakin tinggi bahkan bisa terjadi tsunami.!"
Juragan Mukarim tak terlalu menghiraukan seruan Imron, dia merasa tidak mau terpedaya oleh taktik mereka. Juragan Mukarim menganggap hal itu merupakan cara mereka untuk menyingkirkan dia dari kawasan ini. Dan tentunya juragan Mukarim tak ingin tertipu.
“Juragan, mungkin apa yang dikatakan Imron ada benarnya juga. Lihat, gelombang laut sudah mulai tak terkendali. Sepertinya benar apa yang telah Bang Imron katakan, juragan!” kata Marwan.
Sejenak kemudian juragan Mukarim segera melihat sekeliling. Dia melihat tanda-tanda yang aneh. Ombak laut di sekeliling perahunya tampak bergerak tak beraturan, mengombang ambingkan perahu mereka makin lama semakin kencang.
“Wan, betul juga ucapanmu!” gumam juragan Mukarim.
Juragan Mukarim segera memberi perintah, "Hei, cepat kita tinggalkan tempat ini! Mungkin tsunami betul-betul akan terjadi!"
“Wah… mungkin penguasa lautan sedang murka.. !” kelakar Bahrul.
“Husss…. saat seperti ini masih bisa bercanda… dasar Bahlul!“ umpat Iskandar.
Toyib, Iskandar, Bahrul, terutama Mi’un sebagai juru mudi sangat panik. Tak terkecuali dengan Rendra. Dia sangat mengkhawatirkan ibunya. Dan goncangan oleh gelombang laut makin kencang, Rendra sIbuin mengeratkan pegangan tangannya pada kayu penopang layar. Semua segera kembali ke bagiannya masing-masing. Seketika haluan kemudi perahu diputar. Namun terlambat. Suara gemuruh mendadak datang dari arah timur laut.
Sementara itu di darat…….