Setelah banjir tsunami surut, entah untuk beberapa saat, dalam kesadaran yang belum hadir seluruhnya, dengan tenaga yang tersisa, Aisyah membuka kelopak matanya, saat itu dia menangkap kilau matahari berkilatan melewati matanya. Sejenak dia merasakan nafasnya berat, dadanya sesak dan nyeri di kakinya. Kakinya terasa begitu kaku, perih dan ngilu.
Kemudian Aisyah mencoba bangkit dan berusaha bersandar di sebatang pohon yang cukup besar. Kedua bola matanya berputar memandangi sekitar dirinya. Dalam kelelahan matanya, dia melihat sebuah bangunan megah berdiri kokoh di hadapannya. Ya, kini barulah dia menyadari bahwa dia berada di depan masjid.
“Subhanallah, ya Allah apa gerangan yang membawaku kesini?” ucapnya dalam hati.
Saat itu Aisyah menyaksikan sebuah pemandangan yang sangat memilukan. Semua yang ada di sekitar masjid hancur. Bangunan hancur dan hanya tersisa kayu-kayu yang tercerabut dari simpul-simpulnya, mobil teronggok ringsek dan banyak mayat bergelimpangan. Hanya masjid itu yang masih berdiri kokoh, Aisyah bisa melihat banyak sekali orang yang berdiri di dalam masjid sambil menangis.
Di sisi lain, di pelataran masjid, kepanikan terjadi, teriakan kepiluan yang sungguh menyayat hati. Mereka berteriak-teriak memanggil nama seperti sedang mencari keluarganya, sesekali mereka berteriak, mengacak-acak rambut dan tersungkur pada kenyataan pahit. Semua hancur, sirna dalam sekejap. Mereka seolah masih tidak percaya dengan semua kejadian yang baru saja mereka alami.
Aisyah melihat seorang anak laki-laki menangis tersedu, matanya nanar dan menatapnya sendu, duduk terkulai di pojok pelataran masjid. Bajunya sudah robek, tangannya gemetar, badannya sedikit menggigil dan rambut acak-acakan. Saat itulah barulah Aisyah teringat akan keluarganya, ayahnya, ibu dan adiknya.
“Ayah… ibu… Rahmat… di mana kalian? Ya Allah selamatkan mereka,” ucapnya dalam hati.
Dengan menahan butiran-butiran bening di kelopak matanya, Aisyah melambaikan tangan dan mengajaknya duduk di sampingnya.
“Keuno!” panggil Aisyah. Namun anak itu hanya menggelengkan kepalanya.
Jarak antara Aisyah dan anak itu tidak jauh hingga dia dapat mendengar dengan jelas sekali isak tangis anak itu.
“Jak keuno, bek takot!” panggil Aisyah lembut.
Masih dalam bayang-bayang ketakutan, anak itu memandangnya ragu, sejenak kemudian dia menunduk, lalu berdiri, mendekat duduk di samping Aisyah. Tangisannya semakin kuat, Aisyah memeluknya lembut. Dalam keadaan demikian, sungguh Aisyah tak mampu lagi untuk menahan derail air matanya.
“Kakak, saya takut sekali,” kata anak itu pelan.
Aisyah memeluknya dengan menahan sesak dalam rongga dadanya.
“Sudah, jangan takut, ada kakak di sini. Siapa namamu?” tanya Aisyah.
“Udin,” jawabnya singkat.
Aisyah tersenyum menatap bola matanya yang bulat dan memancarkan sinar polos.
“Aisyah,” balas Aisyah pelan.