Rendra terus berjalan. Kakinya yang menyusut dari waktu ke waktu dan makin kehilangan daya tak mampu kalahkan kehendaknya. Sementara itu mayat-mayat bergelimpangan seperti rongsokan. Bau menyengat yang mengundang kerumunan lalat menggunduk di setiap setiap tempat. Tapi Rendra tak hiraukan itu. Matanya yang berpijar merah melata, susuri setiap mayat yang bergelimpangan itu. Tangannya mengorek satu demi satu mayat yang terhampar di kakinya.
Rambut hitamnya berkeriyap dihembus angin. Rendra tidak ingin mendengar. Kakinya terus dia seret. Langkahnya semakin melata. Seluruh sendi-sendi kakinya bergetar, merambat ke engsel tubuhnya. Tapi Rendra tetap tak mau mengalah pada keadaan tubuhnya. Dia seret kakinya dengan sisa tenaga. Jalan ibarat pasir yang menusuk luka di tubuhnya. Serakan mayat itu masih bergelimpangan di kanan-kiri. Halangi langkah tubuhnya yang makin ringkih. Mata-mata mereka membuka. Seperti hendak menyampaikan pesan padanya.
Tiba-tiba Rendra hampir kehilangan keseimbangan ketika kaki kanannya menabrak tubuh yang membujur. Tubuhnya mencoba menahan lengkung badannya yang hampir jatuh ke tanah. Tapi bumi seperti ingin memeluknya dan merengkuhnya. Berat badannya condong ke tanah.
Bunyi berdebam memecah sunyi ketika tubuhnya yang labil menimpa mayat itu. Mata yang putih. Seperti daun jendela yang membuka lebar. Menyeret Rendra masuk dan terhisap ke dalamnya. Mata yang berkata.
“Mengapa kamu masih saja tak yakin ini semua sudah menjadi kehendak Tuhan. Pulanglah. Kembalilah ke rumahmu!”
Rendra mengeram, “Diamlah. Semuanya sudah kosong. Sirna oleh angin yang membawa pergi. Hanya satu yang masih tersisa. Aku sedang mencarinya dan ingin membuktikan kekuasaan-Nya. Jadi singkirkan kakimu, hai mayat yang tak punya rasa. Tak ada yang dapat menghalangi langkahku!”
Dengan menahan sakit pada tangan kirinya yang menimpa aspal kasar, tangan Rendra menjangkau tongkat kayu dengan tangan kanannya. Ketika tumpuannya telah kukuh, Rendra menaikkan tubuhnya ke atas. Begitu susah payah dia menegakkan tubuh. Tapi siapakah yang bisa mengalahkan kekerasan hatinya? Setelah tubuhnya tegak seimbang.
Jalan yang ditempuh Rendra makin menyempit dalam pandangan matanya yang kelabu. Tapi ia terus berjalan. Beberapa depa di depannya, Rendra tersentak. Masjid itu pun masih berdiri tegak. Seperti mercusuar tinggi di tengah lautan puing-puing yang berserakan. Warnanya yang putih pantulkan kilau matahari ke seluruh padang yang luas. Padang mahsyar. Rendra semakin kebut langkahnya. Seperti roda, kakinya yang pincang bergerak cepat. Ia berlari. Seperti kuda sembrani yang melintas di permukaan laut yang tenang.
''Mau kemana engkau?''
Rendra tak sekalipun menghiraukannya. Dia terus melangkah. Menekan gemuruh yang berputar dahsyat di kepalanya. Adakah ibuku di sana? Dada nya bergetar hebat. Sudah habis air matanya sejak berhari-hari lalu. Tapi apa yang ada di dadanya ini? Begitu hebat guncangannya, begitu keras gemuruhnya. Ketika tak ada lagi yang bisa menahannya, Rendra meraung hebat. Seluruh persendiannya patah dan lunglai. Dia pun terjerembab dengan tubuh kehilangan daya. Dan terduduk di teras masjid dengan mata yang sembab.
Dengan tubuh yang tergugu, “Ya Allah tolong pertemukan aku dengan ibuku!”
Rendra menangis. Air matanya makin menderas. Tubuhnya lunglai. Saat itu dia seakan melihat bapak dan ibunya. Lalu di sebelah-sebelahnya, tetangga rumah, teman sesama anak nelayan. Senyum mereka merekah. Ikhlas. Seperti kuntum-kuntum embun yang membeningkan pagi. Lalu perlahan semuanya mengabur serupa kabut yang membias di ufuk Barat.
Suara adzan menyayat telinganya. Rendra merasa tubuhnya melayang dalam udara. Menyatu dalam ruang hampa. Ketika tersadar, ia melihat tubuhnya bersimpuh di depan mihrab masjid. Begitu kecil. Dan tanpa daya. Semua telah terjadi dan dia harus mengikhlaskan semuanya pergi.
******