9 SKALA RICHTER

DENI WIJAYA
Chapter #10

MAN JADDA WAJADDA #10

Rendra teringat pada pesan ibunya. Suatu saat ibunya sedang sakit, rasanya dia ingin menangis melihat keadaan ibunya yang sangat lemah dan kritis. Rendra sangat mengkhawatirkan keadaannya.

Tanpa dia sadari kemudian tangannya yang terbujur kaku itu menggenggam tangannya dan berkata, ”Rendra…, jika suatu saat ibu sudah tiada, hanya satu pesan ibu, teruslah sekolah, bagaimanapun keadaanmu saat ini, jangan pernah menyerah untuk menjadi apa yang kamu inginkan. Kejar cita-citamu setinggi bintang di langit... man jadda wa jadda. Buat ibu bangga terhadapmu.”

Kini, ibunya sudah tiada. Dia pergi meninggalkannya untuk selama-lamanya. Tsunami telah merenggut jiwanya. Yang terasa hanyalah kesepian. Hari demi hari dia lewati bersama para anak-anak yang senasib dengan dirinya di panti asuhan. Hampir separuh anak-anak penghuni panti asuhan adalah anak-anak korban bencana tsunami. Pastinya mereka sangat terpukul atas kepergian orangtua dan keluarga yang dicintainya.

Suatu saat ketika Rendra sedang duduk berteduh dari sengatan panas matahari di ayunan yang digantung di batang pohon flamboyan yang berada di halaman depan panti asuhan. Tiba-tiba seseorang berteriak memanggilnya, membuyarkan lamunannya. Ternyata Aisyah. Wajahnya terlihat gembira. Sejurus kemudian Aisyah menarik tangan Rendra dan menyuruhnya mengikutinya. Aisyah membawanya ke ruang kerja Bu Rohmah.

Dia menunjuk orang yang ada di dalam ruangan itu, “Bang Rendra, lihat itu, ada orang yang mau mengadopsi!”

“Semoga saja mereka mau adopsi kita ya…. ” lanjut Aisyah.

Rendra hanya bisa mengangguk pelan dan tersenyum. Hal itu biasa dilakukan Aisyah setiap kali dia melihat orang yang datang untuk mencari anak adopsi.

Malam harinya Aisyah masuk ke kamar sambil tersenyum. Rendra sudah mengerti, jika dia tersenyum seperti itu artinya sedang gembira.

“Bang Rendra !” panggil Aisyah.

“Bang, mereka mengadopsi Aisyah!“ kata Aisyah dengan wajah yang ceria.

“Mereka siapa?“ tanya Rendra.

“Itu lho Bang…. orang yang tadi siang kesini. Ah, mimpi apa ya aku semalam? Akhirnya impianku jadi kenyataan, Bang! Aku senang sekali. Mereka bilang mereka akan menjemputku lusa. Ah, aku harus siap-siap nih !” ucap Aisyah riang.

“Oh ya? Siapa nama mereka?“ tanya Rendra.

“Pak Sulaiman, beliau adalah seorang dokter di Malaysia,“ jawab Aisyah bersemangat.

“Wah, jauh banget ya... tapi syukurlah. Aku ikut gembira. Berarti kamu punya orang tua asuh yang kaya. Tapi kamu jangan pernah lupain Bang Rendra ya… ” ucap Rendra seraya memeluk Aisyah.

Namun Rendra juga merasa sedih karena Aisyah akan diadopsi. Berarti dia akan meninggalkannya sendiri. Hingga waktu perpisahan itu pun tiba. Tiga hari kemudian sebuah mobil sedan mewah warna biru datang ke panti. Rendra hanya melihatnya dari balik jendela.

Sebenarnya Rendra tidak rela, tapi mau tidak mau ia harus merelakan kepergian Aisyah. Dari balik jendela, Rendra melihat Aisyah menangis sambil sepasang matanya menatapnya yang berdiri di balik kaca jendela sambil melambaikan tangannya.

“Aku tidak boleh menangis. Menangis artinya lemah. Jangan menangis, jangan menangis, Rendra…. jangan menangis!” ucap Rendra dalam hati.

Sekuat apapun Rendra menahan air matanya agar tidak turun tapi tanpa sadar air matanya terus mengalir.

Aisyah pun pergi bersama orang tua baru ke rumah barunya di Malaysia. Mungkin rumah barunya itu sangat bagus, mewah seperti istana dan banyak pelayan yang akan melayaninya sehingga mungkin dia akan melupakannya. Tapi tidak, dia berusaha untuk menepis prasangka buruk itu. Tidak. Aisyah tidak mungkin melupakannya.

Lihat selengkapnya