Dalam kerinduan dan penantian panjangnya, Aisyah mendengar kabar bahwa Rendra sudah lulus dari pendidikan Taruna dan akan pulang ke panti besok. Namun dengan segala penyesalan, dia tidak dapat pergi menemui sang pujaan hati karena sang ayah tidak memperbolehkannya pergi ke Surabaya. Semalaman dia tidak bisa tidur. Ingin rasanya malam ini cepat berlalu. Tapi kadang juga dia juga ingin malam ini lebih lama agar dia lebih siap dengan segala kemungkinan yang terjadi saat esok datang.
Aisyah merasa getir, perih, saat itu ingin rasanya dia berlari sekencang-kencangnya. Berteriak sekeras-kerasnya. Aisyah menangis sejadi-jadinya.
“Buat apa aku menunggu selama ini, buat apa aku simpan cinta ini, jika ini yang harus kudapatkan!” tukas Aisyah sembari menangis sesenggukan.
Tubuhnya terasa lemas tak bertenaga. Dalam kamarnya dia meluapkan perasaannya dengan tangisan yang menyayat hati. Dia jatuhkan tubuhnya di atas kain putih penutup ranjangnya. Benang-benang seolah menatap pilu, ikut berduka melihat jiwa yang terluka.
"Aisyah, boleh ibu masuk?" tanya Bu Zulaikhah lembut.
Dari luar pintu Bu Zulaikhah hanya mendengar sesenggukan tangisan putrinya. Biasanya tak menunggu lama pintu itu langsung dibukakan. Setelah menunggu beberapa saat tetap pintu belum terbuka maka dia pun memutuskan untuk membuka sendiri pintu kamar Aisyah. Ketika pintu sudah terbuka, dia mendapati Aisyah yang sedang duduk menangis di pinggir ranjangnya. Bu Zulaikhah menghembuskan nafas begitu berat dan perlahan melangkah mendekati Aisyah dan duduk di sampingnya.
"Aisyah, ada apa? Apa yang membuatmu menangis?“ tanya Bu Zulaikhah lembut.
Bukan jawaban yang dia berikan, Aisyah menangis sejadi-jadinya dalam pelukan Bu Zulaikhah.
“Hatiku bu... rasanya telah bertahun-tahun Aisyah menahan rasa ini, namun kini mimpi itu hancur hanya dalam sekejap saja. Lantas apa yang harus Aisyah lakukan? Aisyah ingin marah?“ ucap Aisyah pilu.
“Aisyah, marahlah jika kamu ingin marah karena mungkin kamu memang berhak untuk marah tapi bukan berarti kamu harus benci pada ayahmu!“ kata Bu Zulaikhah lembut.
Sejenak kemudian dengan terbatah, Aisyah menceritakan secara jujur semuanya tentang hubungan cintanya dengan Rendra selama ini.
“Iya, yang sabar ya.... Ibu sangat memahami perasaanmu. Ibu ini juga seorang wanita. Aku pun tahu tapi ibu harus berbuat bagaimana lagi, sepertinya keputusan ayahmu tidak bisa berubah sedikit pun. Yang sabar ya Aisyah, cobalah untuk ikhlas. Yakinlah ayahmu melakukan ini semua demi kebaikanmu !” nasihat Bu Zulaikhah mencoba untuk menghibur Aisyah.
”Anggap saja ini adalah sebuah pengorbananmu untuk berbakti pada orang tua, meski kami bukanlah orang tua kandungmu. Sudahlah, mungkin dia bukan jodohmu!” lanjut Bu Zulaikhah.
Masih tak terdengar suara dari bibirnya. Kali ini, segalanya terasa hanya angin yang berbisik tenang bersama tangisannya.
"Bu, apa aku ini cantik? Benar, nggak Bu?" desah Aisyah pelan seraya mengusap air matanya sambil melepaskan pelukan ibunya.
Bu Zulaikhah pun tersenyum, "Ya, lho, memangnya kenapa? Memang ada yang bilang kamu ini jelek ya?"
"Aduh ibu ini, Aisyah serius Bu!" ucap Aisyah dengan mimik serius.
"Benar. Kamu ini cantik lho.. kalau nggak percaya lihat wajahmu di cermin, cantik kan?” jawab Bu Zulaikhah dengan mimik serius namun tetap tersenyum. Aisyah tersipu malu, dia berusaha menyibak rambutnya yang terurai di wajahnya.
"Bu, apa salah jika Aisyah suka pada Rendra?" tanya Aisyah lirih.
"Rendra temanmu satu panti itu kah? (Aisyah hanya mengangguk pelan) Sekarang ibu mengerti. Aisyah, ibu tahu kamu ini sudah beranjak dewasa dan perasaan suka sama lawan jenis adalah naluri semua makhluk, jadi tidak salah jika kamu menyukai seseorang lelaki namun apakah kemudian kamu akan menjalani hubunganmu dengannya tanpa restu orangtua. Aisyah, ibu sangat mengerti perasaanmu saat ini tapi apakah kamu juga tega mengecewakan ayahmu. Ibu yakin ayahmu pasti ingin memberikan yang terbaik untuk kebahagiaanmu!” jelas Bu Zulaikhah.
“Aisyah, jangan bersedih, kamu harus yakin jodoh ada di tangan Allah. Bagaimanapun usaha manusia untuk memisahkan, jika sudah jodoh dan tidak akan ada sesuatupun yang mampu menghalangi bersatunya cinta, yang sabar ya, jika memang Rendra itu ditakdirkan untuk menjadi jodohmu maka insya Allah kelak dia akan kembali kepadamu… yakinlah. Ibu juga akan berusaha untuk membujuk ayahmu!” lanjut Bu Zulaikhah lembut.
“Iya Bu,” sahut Aisyah lirih.
****
Selanjutnya para bagi para Perwira Pertama seusai mengikuti pelatihan di Kolatarmatim, masing-masing mendapat penugasan. Ada yang bertugas di KRI di Armada, ada yang di Kolinlamil, ada juga yang di Batalyon Marinir, serta di Pendirat. Rendra mendapat tugas di Koarmatim, Surabaya. Fransiskus ditugaskan di Pendirat. Sementara Imam ditempatkan di Batalyon Marinir.
Malam itu, di dermaga ujung, Rendra berdiri menghadap laut luas, pandangannya menerawang jauh melewati batas laut yang tak bertepi. Hanya rembulan yang mulai dengan berani bertengger dalam kekuasaan sang malam. Gelayut pikirannya entah kemana, apa gerangan yang sedang membuatnya gundah gulana. Seolah keindahan suasana malam di pelabuhan Tanjung Perak dan romantisme
Selat Madura tak mampu untuk sekedar menghibur hatinya. Pandangannya sedikit pun tidak beralih pada hamparan laut di hadapan. Matanya terus memandang dengan jiwa yang kosong. Kedengaran desiran ombak kecil yang menghempaskan diri ke pantai sambil bertemankan keriuhan suara tamu-tamu sang laut, yang mengalun sayup-sayup, merdu, memecah keheningan malam, mengisi kehampaan perasaannya, menemaninya malam itu, seolah sedang melukiskan semua kegalauan jiwanya. Bimbang.
Sementara itu, kala malam mulai menjelang, di sisi lain pelabuhan Tanjung Perak, pemandangan lampu-lampu dari kapal-kapal besar yang sedang membuang sauhnya di Selat Madura maupun pelabuhan Tanjung Perak juga tak kalah indahnya untuk dinikmati. Keindahan ini bahkan masih akan berlanjut ketika malam benar-benar hadir. Nampak barisan kapal-kapal motor penumpang yang sedang menaik-turunkan penumpang akan tampak dengan jelas. Salah satu bangunan kantor Pelabuhan Tanjung Perak yang merupakan peninggalan Belanda akan membawa kenangan seolah-olah kembali berada di jaman kolonial Belanda.
Jejak langkah kaki kembali mengitari perjalanan panjang, mengitari senja bersama kepak sayap camar laut terbang tinggi ke angkasa kembali ke peraduan.
Menapaki hari berjalan bersama sang waktu, merentas mimpi dan harapan. Dan saat sang surya tenggelam, kini saatnya untuk kembali pulang ke peraduan sang malam dalam kerinduan yang terdalam merengkuh cinta melepaskan semua beban.