Siang ini tidak beda dengan siang di hari yang lain. Hujan baru saja reda meski masih meninggalkan gerimis yang mengundang, sementara mendung hitam masih terlihat di langit Kuala Lumpur. Namun udara pagi terasa lebih segar, debu yang biasanya berterbangan tersapu tetesan hujan. Langit biru dan angin yang bertiup pelan menambah segar siang ini. Siang yang indah.
Rendra baru saja masuk ke dalam mall di kawasan little india, ia tidak peduli dengan orang-orang yang berjalan di depannya. Meski bukan musim liburan dan akhir tahun tetapi pengunjung siang ini lumayan banyak dengan tujuan yang berbeda mungkin belanja atau mungkin hanya sekedar membuang waktu dengan berkeliling mall. Sedangkan Rendra, tujuannya hanya satu. Berjumpa dengan Aisyah.
Sesampainya di lantai tiga, pandangannya mengarah ke salah satu sudut café namun tidak terlihat sesosok gadis yang ia kenal. Rendra mengarahkan matanya ke jam tangan, 13:26 waktu Kuala Lumpur. Rendra memutuskan untuk masuk ke satu café yang berhadapan dengan tempat mereka janjian, jadi Rendra bisa melihat kalau nanti dia akan datang. Secangkir teh tarikh baru saja disajikan di depannya, dia melirik ke pelayannya dan mengucapkan terima kasih. Kemudian dia nampak membolak-balik majalah yang memang tersedia di café itu sambil sesekali melirik ke luar café.
Rendra menghela nafas panjang, dia biarkan jari jemarinya memainkan sendok teh dalam segelas teh tarikh panas. Klintiing... klinting… bunyi nyaring gesekan kepala sendok teh yang terbuat dari logam yang berputar, beradu dengan dinding gelas yang terbuat dari kaca tebal, mulai memecah keheningan hatinya, membuyarkan lamunannya. Iramanya seolah mengiringi hatinya yang sedang galau.
“Sudah 20 menit…. Aisyah kok belum datang juga!” gerutu Rendra.
Rendra tak sadar saat mengucapkan kalimat itu sambil melihat sesekali jam di tangannya. Hingga nada SMS di ponsel milik Rendra berdering menyadarkannya dari lamunan. Rendra tertunduk membaca SMS itu, jari jemarinya berhenti memainkan sendok di tangannya hingga kesunyian kembali meruang, membuat jantungnya semakin berdetak kencang tak beraturan. Rendra mencoba untuk menikmati secangkir teh tarikh di hadapannya, menahan untuk tidak melirik jam tangan yang melingkar di pergelangan tangan kirinya.
“Semoga waktu berjalan dengan cepat!” ucapnya dalam hati.
Rendra kembali menghela nafas, namun alunannya tetap tidak mampu menenangkan detak nadinya yang berdenyut tak beraturan. Rendra memejamkan mata.
“Jangan lihat jam Rendra, dia pasti datang!” kata Rendra dalam hati, meyakinkan dirinya sendiri.
Ia biarkan udara mengibas rambut cepaknya saat hembusannya terdengar di balik keheningan. Namun hanya beberapa detik setelah itu, keheningan kembali terpecahkan.
Waktu berjalan perlahan tapi pasti, teh tarikh dalam gelas masih tersisa setengah dan sama sekali tidak panas lagi. Perlahan Rendra mengangkat gelas dengan niat untuk menghabiskannya sebelum benar-benar dingin. Namun tangannya tertahan ketika matanya secara sekilas melihat wajah seorang gadis yang begitu akrab di matanya, melangkah mendekati sebuah café tepat di seberang posisinya saat ini.
Sama sekali tidak banyak yang berubah pada dirinya. Tetap cantik. Mempesona. Meski ia lebih kelihatan kurus dan kedua kelopak matanya sembab dengan ekspresi wajah yang muram. Tiba-tiba jantungnya berdetak tidak seperti biasa, berpacu lebih cepat seperti ingin segera melompat dan mendekat. Sementara hatinya memiliki keinginan yang lain, menahan kakinya untuk melangkah dan membiarkan matanya untuk memandangnya lebih lama lagi dari tempat duduknya. Memandangnya dengan sepuas hati tanpa harus mengucapkan sepatah kata yang selama ini terbenam dalam hati.
Sejenak gadis itu menoleh ke dalam café, mungkin sedang mencari-cari tanda kehadiran Rendra. Tangannya mengeluarkan handphone dari dalam tas. Jari-jarinya menekan tuts dan kemudian mendekatkan handphonenya ke telinga. Kembali melirik ke dalam café,…
“Halo… assalamu ’alaikum!” sapa Rendra.
“Wa’alaikum salam!” balas Aisyah.
“Aku sudah di depan café, Bang Rendra di mana?” tanya Aisyah.
“Ehh, masih di jalan!” Entah kenapa kata-kata itu keluar dari mulut Rendra begitu saja.
“Aisyah, kamu tunggu di situ saja dulu, pesan minum atau apalah. Sebentar lagi aku akan sampai!” sambung Rendra.
“Saya tunggu di dalam ya Bang, tapi jangan lama-lama ya.” ucap Aisyah.
“Enggak, paling sepuluh menit lagi,” balas Rendra.
Sesaat kemudian, Aisyah benar-benar masuk ke dalam cafe dan duduk di pojok. Sementara itu Rendra masih terus memperhatikannya, ia sedang berbicara dengan pelayan café. Mungkin memesan minuman. Sekitar beberapa menit kemudian Rendra berdiri, membayar minumannya dan melangkah pelan keluar menuju café di depan. Rasanya seperti mau kencan pertama. Di depan pintu Rendra berdiri sejenak menatap ke meja di pojok café, nampak Aisyah sedang sibuk membaca menu yang ada di depannya.
“Maaf, jika kamu menunggu lama!” lanjut Rendra.
Wajah Aisyah terangkat mencari asal suara yang baru ia dengar. Matanya menatap ke wajah Rendra. Dia merasakan jantungnya kembali berdetak tidak beraturan. Mata itu. Mata yang sampai saat ini masih tetap menjadi mata yang terindah yang pernah ia lihat.
“Nggak kok, aku juga barusan sampai!” jawabnya lirih.
Tanpa dipersilahkan, Rendra duduk di depannya. Sudah lama Rendra berharap bisa bertemu dengannya, justru terkadang dia merasa kalau keinginan untuk bertemu lagi hanya menjadi keinginan yang tak akan terwujud. Tapi hari ini, siang ini keinginan itu telah terpenuhi, ia ada di depan mata, hanya berdua. Kemudian mereka disibukkan dengan membolak-balik daftar Bahkan, sepertinya mereka sama-sama sedang mencari bahan untuk memulai pembicaraan.
Gadis itu pun tersenyum melihat Rendra memperhatikannya dengan penuh makna.
“Kenapa Bang? Saya masih cantik mempesona ya?” tanya gadis itu membuyarkan lamunannya.
Rendra hanya tersenyum mendengar ucapannya.