BAGI SEBAGIAN orang, mungkin nama tidak terlalu penting. Apalah arti sebuah nama?!, demikian ungkapan umum di kalangan mereka, yang lebih menyentuh pada esensi. Namun bagi sebagian yang lain, nama juga penting. Karena tanpa nama, sebuah esensi dan eksistensi tidak akan bisa dipahami, terutama dalam hubungan di antara manusia. Pada spektrum yang lebih luas, hal tersebut kemudian melahirkan bahasa dalam kehidupan masyarakat serta menjadi tanda atas keberadaan dan keberlangsungannya. Andaikata bahasa tidak ada, bisa dibayangkan nilai-nilai ideal dan ajaran-ajaran agama misalnya, baik Islam maupun yang lainnya, tidak akan tersampaikan kepada umatnya.
Sebuah nama berkaitan dengan pengertian dan pemahaman, dimana pada level yang lebih tinggi mengarah pada kesadaran. Hal inilah yang tampak pada kisah Adam ketika hidup di taman surga. Sebagaimana yang terkandung dalam al-Qur’an,[1] Tuhan berfirman kepada para malaikat, bahwa Dia hendak menjadikan seorang khalifah di muka bumi.
“Mengapa Engkau menjadikan seorang—khalifah—di muka bumi itu makhluk yang akan membuat kerusakan padanya dan menumpahkan darah, padahal kami senantiasa bertasbih dengan memuji dan menyucikan Engkau?” protes para malaikat.
Tuhan berfirman, “Sesungguhnya Aku mengetahui apa yang tidak kamu ketahui.”
Setelah mengajarkan nama-nama seluruhnya kepada Adam, Tuhan kemudian mengajukannya kepada para malaikat, dan berfirman, “Sebutkanlah kepada-Ku nama-nama benda itu, jika kamu golongan yang benar!”
“Maha Suci Engkau, tidak ada yang kami ketahui selain dari apa yang telah Engkau ajarkan. Sungguh, Engkau Maha Mengetahui dan Bijaksana,” kata para malaikat.
“Hai Adam, beritahukanlah kepada mereka nama-nama benda itu!” perintah dalam firman-Nya. Adam pun memberitahukannya kepada para malaikat. Tuhan berfirman, “Bukankah sudah Kukatakan padamu, bahwa sesungguhnya Aku mengetahui rahasia langit dan bumi serta mengetahui apa yang kamu lahirkan maupun yang kamu sembunyikan?!”
Para malaikat kemudian diperintah untuk sujud kepada Adam. Maka mereka pun bersujud, kecuali iblis yang enggan dan takabur, serta termasuk golongan yang kufur.
Dengan firman-Nya, Adam dan istrinya kemudian dipersilahkan tinggal di surga, menikmati segala makanan yang melimpah dan baik, dimana saja yang disukai. Hanya satu larangan yang diberikan, yakni larangan untuk mendekati sebuah pohon (syajarah), yang dapat menyebabkan keduanya termasuk golongan yang dzalim.
Lantas keduanya digelincirkan setan dengan tipu daya, sehingga dikeluarkan dari keadaan semula. Tuhan berfirman, “Turunlah kamu! Sebagian kamu menjadi musuh bagi yang lain, dan tersedia bagimu tempat kediaman di bumi serta kesenangan hidup sampai waktu yang ditentukan.”
Kemudian Adam menerima beberapa kalimat dari Tuhannya. Bertaubat. Maka Tuhan menerima taubatnya, karena sesungguhnya Dia Maha Penerima Tobat dan Maha Penyayang. Akan tetapi, perintah turun dari surga itu tidak dibatalkan. Tuhan berfirman, “Turunlah kamu semua dari surga itu! Kemudian jika datang petunjuk-Ku kepadamu, maka barangsiapa yang mengikuti petunjuk-Ku, niscaya tidak ada kekhawatiran atas mereka dan tidak pula bersedih hati. Sementara mereka yang kafir dan mendustakannya, mereka itu adalah penghuni neraka dan kekal di dalamnya.”
Berdasarkan kisah Adam ini, jelas bahwa nama-nama tidak hanya sekedar dikenal, tetapi juga mengarah pada pengertian dan pemahaman terkait esensi dan eksistensi dari yang diberi nama tersebut. Termasuk segala sesuatu yang terkandung di dalamnya, misalnya potensi dan fungsi. Dengan nama-nama juga, Adam pun mengerti dan memahami apa itu perintah dan larangan. Surga dan neraka, malaikat dan setan, dan sebagainya. Begitu juga dengan dosa.
Setelah melanggar larangan Tuhan, Adam pun merasa berdosa. Kemudian bertaubat, dimana pada gilirannya melahirkan sebuah kesadaran yang merupakan level yang lebih tinggi dari pengertian dan pemahaman. Sebuah rasa.
Dari keseluruhan rangkaiannya, kisah Adam mengungkapkan konsep tentang fitrah atau potensi-potensi manusia yang baik dan suci, ibtila’ atau cobaan dan ujian, serta tazkiyah atau penyucian diri. Kisah ini juga menampakkan evolusi fitrah manusia. Dari fitrah tanpa kesadaran menjadi fitrah yang berkesadaran setelah bertobat. Hal ini disebabkan bahwa Adam sebagai manusia, dalam kehidupannya tidak mungkin tidak pernah melakukan dosa dan kesalahan. Dalam proses ini, terlihat adanya kesadaran yang mengarah pada penyempurnaan fitrah manusia, untuk mencapai kedudukan sebagai insan kamil.
Kisah Adam di atas merupakan proyeksi dari idealitas sejarah universal kehidupan manusia. Akan tetapi, realitas dunia adalah dualitas yang komplementer, sebagaimana siang dan malam. Idealisme tersebut kemudian melahirkan dua realitas, yaitu jalan yang lurus dan jalan yang sesat dengan segala konsekuensinya sebagai peringatan dan pilihan bagi umat manusia. Hal ini tercermin dalam kisah berikutnya, yaitu kisah Qabil dan Habil.
Kedua putra Adam yang diceritakan oleh al-Qur’an sebagai umat manusia periode awal berkaitan dengan permasalahan kurban yang merupakan manifestasi ketakwaan kepada Tuhan. Di sini, kurban mengandung arti pemanfaatan hasil usaha manusia atas sumber daya alam yang ada di bumi untuk mendekatkan diri kepada Tuhan, terutama dalam posisinya sebagai khalifah fi al-ardl. Epidose dalam kurban tersebut bukan bermaksud menghentikan manusia dalam berusaha, tetapi menyatakan konsekuensi kontradiktif antara yang diterima karena mendasarkan kurbannya pada ketakwaan kepada Tuhan, dan yang ditolak kurbannya lantaran lebih mengutamakan kepentingan pribadi atau selain-Nya. Kemudian dilanjutkan dengan episode pelampiasan kebencian dan kedengkian salah seorang putra Adam terhadap saudaranya yang berhasil tersebut.
Berdasarkan kedua kisah di atas, tidak keliru mengata-kan bahwa cetak biru yang sesungguhnya dari kehidupan manusia di muka bumi, secara garis besar direpresentasikan dalam kisah Qabil dan Habil di atas. Sementara kisah Adam dan Hawa adalah bahasa yang menjembatani antara idealitas dan realitas.
Demikianlah pikiran Basri terkait arti sebuah nama yang meluas hingga menyentuh pada kisah Adam dan kisah Qabil-Habil. Maka ketika anak pertamanya lahir dan berkelamin laki-laki, dia pun diberi nama Mustafa Ibrahim. Tidak hanya menyimpan harapan tersendiri, nama itu juga menjadi kisah dan tanda cinta yang hidup antara dirinya dengan Hanifah.