TIDAK ADA sepanjang hari yang lebih indah dari waktu ketika pagi. Matahari menggeliat, menyibak cakrawala timur. Beranjak memarak dengan paduan cahayanya yang merah dan perak. Udara berhembus segar bersama serapan tetes-tetes embun di daun. Kokok ayam bersahutan di pelataran dan kicau burung-burung di sekitar pepohonan, menandai hidup yang semarak. Bukan kesenyapan yang rawan. Bukan pula kebisingan yang menebalkan pening atas semrawutnya kehidupan.
Bagi sebagian orang, pagi melahirkan sesuatu yang baru. Harapan baru, semangat baru, bahkan hidup yang baru. Ruang-ruang yang senantiasa terbuka bagi siapa saja untuk menjelmakan mimpi yang menyelinap di malam hari. Begitu pula dengan rencana yang akan dimulainya pagi itu. Rencana yang telah tererami sepanjang malam sejak setengah tahun yang lalu.
“Sudah mau berangkat, Ib?” tanya laki-laki tua di beranda rumah ketika melihatnya keluar dengan tas ransel.
“Iya, Kek,” jawabnya.
Laki-laki tua itu tersenyum. Jawaban cucunya itu terdengar mantap di telinganya.
“Baiklah. Duduklah dulu.” Laki-laki tua itu beranjak berdiri, kemudian melangkahkan kakinya ke dalam rumah.
Ib, demikian panggilan terpendek yang diberikan kepadanya, duduk di kursi kayu di beranda rumah. Di depannya, dua gelas kopi yang terhidang di permukaan meja, menampakkan isinya yang telah separuh. Dalam diam, pikirannya menjelajah jauh. Menjangkau segala kemungkinan atas rencana perjalanan yang akan dimulainya. Ah, tidak. Bukan dimulai. Tapi, telah berlangsung kini. Tepatnya sejak keberangkatannya mengunjungi rumah kakeknya dua hari yang lalu. Tadi sebelum berkemas, dia pun telah menyelesaikan rencana keduanya, berziarah ke makam ibunya.
Ib tergugah dari lamunannya, kemudian mengalihkan mata kepada kakeknya yang telah kembali. Duduk di hadapannya.
“Ambilllah ini,” kata si kakek seraya mengulurkan sebuah amplop.
“Apa ini, Kek?” tanyanya ketika menerima amplop itu. Hatinya menduga-duga.
“Bukalah!”
Perlahan Ib membukanya. Benar dugaannya. Amplop itu berisi lembar-lembar uang berwarna merah seratus ribuan. Mungkin sekitar empat juta.
“Uang itu adalah milikmu,” kata si kakek tersenyum melihat Ib yang terdiam bertanya-tanya. Kemudian menutup kembali amplop itu.
“Kau tahu petak sawah yang menjadi bagian warisan ibumu?! Itu adalah sebagian hasilnya. Sejak ibumu meninggal dunia beberapa tahun yang lalu, petak sawah itu disewa oleh pak Hamdani untuk digarap dengan sistem bagi hasil. Memang, kakek tidak pernah memberitahu tentang hal ini kepadamu. Baru sekarang. Kakek pikir, barangkali sudah waktunya. Selama ini kakek hanya menjaganya untukmu saja. Dan jika kau ingin tahu hasil seluruhnya, ini adalah buku tabunganmu.”
Dipenuhi dengan sesuatu yang tidak pernah diduga sebelumnya, Ib menerima buku tabungan dari kakeknya. Kemudian dibukanya dengan perlahan. Jelas terlihat di matanya, nama nasabah yang tertulis dalam buku tabungan itu adalah namanya. Pada halaman itu, terdapat sebuah lipatan kertas yang kemudian segera dibukanya. Selembar kertas fotocopy akta kelahirannya.