9

Syauqi Sumbawi
Chapter #4

04

TIDAK ADA yang tidak berubah dalam kehidupan. Semuanya berubah seiring jalannya waktu. Barangkali karena terlalu kecilnya perubahan dalam hitungan waktu yang sebentar, sehingga kita tidak menyadari bahwa bangunan rumah-rumah sebenarnya mengalami kerapuhan. Pohon-pohon pun terus tumbuh bersama daun-daunnya yang luruh di setiap hembusan udara. Atau, mungkin juga lantaran perhatian kita yang terlalu mengarah pada diri sendiri. Mengabaikan hidup yang tampaknya sederhana di sekitar. Hingga kita pun tersentak oleh lapisan plafon atap rumah dan selembar daun kering jatuh tepat di kepala kita. Terhenyak oleh sepatu yang sedang kita pakai tiba-tiba jebol dan rusak. Begitu juga pakaian kita yang memudar, menipis, dan sobek. Dan sebagainya.

Akan tetapi, tak ada peristiwa yang menyentak di ruas jalan yang disusurinya pagi itu. Suasana kanan-kiri tidak banyak berubah. Rumah-rumah tetap berdiri di tempatnya seperti setengah tahun yang lalu. Pohon-pohon masih juga menawarkan sedikit keteduhan di bawah matahari pagi yang memarak cemerlang. Begitupun keakraban orang-orang yang masih terpelihara bersama tegur sapa di setiap pertemuan yang dilaluinya. Bocah-bocah kecil hilir mudik bersepeda di ruas jalan yang menyapa akrab dan hormat kepadanya.

“Mas, Ib. Mau kemana?”

“Jalan-jalan,” jawabnya renyah.

“Hati-hati, Mas…”

“Mas Ib, ikut…”

“Jangan lupa oleh-olehnya, Mas Ib…”

“O, mau ketemu Mbak Mila, ya…”

Dia tersenyum. Celoteh bocah-bocah itu terdengar seperti keakraban yang indah. Yah, tidak ada ruas jalan yang paling akrab di hatinya selain ruas jalan yang terbentang di depan rumah kakeknya itu. Baginya, ruas jalan itu seperti taman luas yang menyimpan kenangan masa kecil, dimana setiap peristiwa ibarat kupu-kupu yang menyerbukkan keindahan segala warna. Ruas jalan yang kini berubah hitam. Pekat aspal. Menggantikan warna tanah yang muram. Barangkali itulah satu-satunya perubahan yang tampak di mata Ib sejak kepulangannya setengah tahun yang lalu.

Mendekati sebuah mushalla di halaman yang luas depan sebuah rumah, Ib mengarahkan matanya pada bangunan kamar-kamar. Sebuah pesantren kecil tempat dia menghabiskan masa kecilnya. Jika tidak pada waktu sekolah atau ada keperluan di rumah kakeknya, maka di sanalah Ib berada. Shalat berjamaah, mengaji, tidur, dan sebagainya bersama teman-temannya. Namun pagi itu, Ib tidak berniat untuk pergi ke sana. Semalam kemarin, dia telah sowan kepada Abah Dullah, kyai pengasuh pesantren itu. Bersilaturrahmi dan minta doa restu.

Tiba-tiba ekor matanya melihat bayangan berkelebat di liang pintu rumah Abah Dullah. Seketika dia lirih berkata, “Mila…, apakah Mila?! Tidak mungkin. Kata Abah Dullah, Mila belum pulang dari pesantrennya di luar kota. Meskipun dia berencana pulang liburan sekolah kali ini. Semingguan lagi, Insyaallah.”

Demikianlah. Sejak meninggalkan pesantren itu untuk melanjutkan pendidikannya di pesantren luar kota tiga tahun yang lalu, Ib selalu saja seperti merasakan kehadiran Mila setiap kali mengarahkan pandangan mata ke rumah Abah Dullah. Bayangan Mila yang tersenyum melihat kehadirannya. Mila yang senantiasa memberikan perhatian istimewa kepadanya. Bahkan di saat pertemuan terakhir mereka lebaran yang lalu, perhatian Mila masih tetap sama kepadanya.

Ib tahu, di antara para santri sebaya yang tinggal di pesantren itu, dia adalah santri yang paling dekat dengan putri ragil Abah Dullah itu sejak kecil. Mila kerap mengajaknya bermain dan memintanya untuk menemani ketika pergi keluar rumah. Membeli buku, bersepeda, membeli bakso, jajan, dan sebagainya. Karena kedekatan itulah, maka Ib kerap dijodoh-jodohkan dengan Mila. Tidak hanya para santri sebaya, tetapi juga adik-adik kelasnya yang belajar di TPQ dan Madrasah Diniyah pesantren tersebut.

Rupanya, “perjodohan” masa kecil itu masih bergema hingga kini. Yah, bocah-bocah kecil bersepeda tadi yang mengingatkannya. Akan tetapi, masa kecil itu telah berlalu. Dia sudah bukan anak kecil lagi, tetapi laki-laki delapan belas tahun. Begitu pula dengan Mila yang dua tahun lebih muda darinya. Terakhir kali bertemu, dia telah menjelma gadis remaja yang cantik.

Ah, tidak. Aku tidak boleh memikirkannya, gumam Ib tersadar dari lamunannya. Seketika dia teringat pada Lik Kusnan yang mungkin telah menunggu untuk berangkat bersama. Dia pun mempercepat langkah kakinya.

***

 

TRUK ITU terus melaju ke arah matahari terbit. Menyusuri jalan tol di wilayah Surabaya. Satu jam telah berlalu sejak kendaraan bermuatan aspal itu melaju dari pangkalannya. Selama itu pula, Lik Kusnan tetap di belakang kemudi. Tak luput pula dia bercerita tentang pengalamannya sebagai sopir. Pengalaman truk mogok, ban pecah, sepeda motor dan mobil pribadi yang tiba-tiba memotong jalur saat tanjakan, dan sebagainya. Begitu pula dengan beberapa lokasi menarik yang pernah dikunjunginya. Warung-warung yang pernah disinggahinya saat truk parkir di tepi jalan. Dari semuanya, satu hal yang kerap dialami oleh Lik Kusnan adalah kemacetan. Tidak hanya satu jam-dua jam. Berhari-hari pun pernah dialaminya.

Lihat selengkapnya