9

Syauqi Sumbawi
Chapter #5

05

APA YANG menjadikan seseorang disebut santri atau bukan santri?! Apa hanya seorang yang belajar di pesantren, mengaji, shalat berjamaah, dan menjalankan ritual-ritual keagamaan saja yang bisa disebut santri?!

***

 

PERJALANAN sudah dekat dengan pelabuhan Tanjung Perak. Akan tetapi, truk bermuatan aspal itu tidak menuju ke sana, melainkan ke Madura. Bahan aspal itu akan digunakan untuk perbaikan jalan di pesisir selatan pulau garam tersebut. Sementara di sebelah kiri pinggir jalan, ribuan peti kemas tampak bertumpukan di lapangan yang cukup luas.

“Kalau saja perjalananmu kali ini tidak memiliki tujuan khusus, aku akan mengajakmu ke Madura. Kita akan melewati jembatan Suramadu yang terkenal itu. Mungkin juga berziarah ke makam Mbah Kholil di Bangkalan.”

Wah, bisa kena tilang, Lik. Masak truk aspal parkir di area wisata religi,” kata Ib bercanda.

Yah,… kalau truk bermuatan bisa parkir di pangkalannya. Ke sana, kita naik angkutan. Jalan kaki, boleh juga.”

Tiba di pertigaan jalan, Lik Kusnan mengambil arah kanan. Menuju arah jembatan Suramadu. Di sekitar, arus lalu lintas cukup ramai dengan berbagai jenis kendaraan yang berlalu-lalang. Namun syukurlah, semuanya melaju dengan lancar. Sementara udara terasa menghangat menyertai matahari yang terus menanjak.

“Kita juga bisa berziarah ke tempat-tempat lain di Madura. Seperti Kompleks Makam Asta Tinggi, Makam Rato Ebu, Makam Batu Ampar, Makam Sayyid Yusuf, dan Makam Aer Mata ibu.”

 “Itu bisa direncanakan, Lik. Insyaallah lain waktu, kita bisa berziarah ke sana,” sambut Ib diam sejenak. “Tapi ada syaratnya!”

“Syarat?!”

“Lik Kusnan yang memimpin doa.”

Seketika keduanya tertawa. Lebih-lebih Lik Kusnan.

Lho, kok bisa begitu, Gus?!”

“Lik Kusnan ‘kan, santri. Lebih tua. Baik umur maupun ilmu.”

“Santri apa, Gus?! Lha, setiap hari di jalanan kok…”

“Santri jalanan.”

Kembali mereka tertawa.

“Kedengarannya lebih enak. Tetap santri, daripada macak santri,” komentar Lik Kusnan.

Tiba-tiba dari arah belakang, sepeda motor memotong jalan. Berhenti tepat di depan truk yang melaju di lajur kanan. Lik Kusnan tersentak. Mendadak menginjak rem. Ib terhenyak ke depan. Seketika terdengar suara klakson truk menggema di udara. Sepasang remaja tanpa helm yang mengendarai sepeda motor itu menengok ke belakang sekilas. Seperti pasrah atas perbuatannya.

Dari samping, Ib menatap Lik Kusnan. Urat-urat di keningnya tampak membesar. Ketegangan terlihat di wajahnya.

“Sabar, Lik,” kata tersenyum.

Lik Kusnan menatap Ib. Sejenak rona wajahnya berubah. Kemudian terdengar suara tawa di dalam truk itu. Sementara di depan, sepeda motor itu terlihat melaju. Putar balik ke jalur kanan.

“Kau benar, Ib. Kesabaran adalah sahabat semua sopir,” katanya di sisa tawa. Kemudian membawa truk itu melaju kembali.

“Sahabat semua orang, Lik.”

“Ya, ya, ya… dan inilah yang harus kita sadari. Bahwa berbicara selalu lebih mudah daripada praktiknya. Itulah ngaji yang sebenarnya. Kata Mbah Mad, ngaji ngelakoni. Mengamalkan ilmu. Praktik,” ungkap Lik Kusnan. “Kau tahu apa yang dikatakan kakekmu itu, Ib?!”

Lihat selengkapnya