MAKAM R. Rachmattulloh (Sunan Ampel), demikian plakat yang menempel di gapura pintu masuk lokasi masjid dan makam Sunan Ampel. Di antara para tukang becak, tukang parkir, dan pedagang kaki lima, Ib berdiri di depan gapura. Pandangan matanya jauh menembus lalu-lalung para peziarah. Sementara beberapa pedagang terus menawarkan barang dagangan yang tergelar pada lapak-lapak mereka yang berdiri di kanan kiri gang. Baju, sarung, minyak wangi, mukena, kurma, CD dan VCD konten religi, buku-buku Islami, dan sebagainya. Juga buku tafsir mimpi.
Setelah menarik nafas dalam-dalam dan menghembuskannya perlahan, Ib melangkah kakinya. Memasuki gang. Mengikuti arus para peziarah. Terbayang dalam pikirannya, para peziarah yang berjalan di depannya itu laiknya orang-orang yang dulu mengikuti perjalanan Raden Rahmat ke Ampeldenta. Memperbaiki akhlak, demikian tugas dan tanggungjawab yang diembannya dari Raja Brawijaya. Terutama kepada para bangsawan dan pangeran kerajaan Majapahit, yang saat itu ditengarai mengalami kemerosatan moral.
Sebagaimana diketahui, sepeninggal Mahapatih Gajah Mada dan Prabu Hayam Wuruk, kerajaan Majapahit menga-lami masa kemundurannya. Kerajaan terpecah belah karena perang saudara dan loyalitas para Adipati mulai pudar. Pajak dan upeti tidak banyak yang sampai ke kas kerajaan, tetapi dinikmati oleh para Adipati sendiri. Di samping itu, tidak sedikit pimpinan pasukan kerajaan membelot. Menjadi perampok yang berkuasa di hutan wilayah Majapahit.
Kondisi di atas itulah yang menyebabkan Raja Brawijaya merasa galau. Apalagi kabar tentang kebiasaan buruk kaum bangsawan dan para pangeran yang suka berperilaku hura-hura, pesta-pora, berjudi, dan mabuk-mabukan. Begitu juga dengan kondisi rakyat yang sepertinya sudah tidak hirau lagi kepada Tuhan dan hukum kerajaan. Raja Brawijaya sadar, kebiasaan buruk dan kondisi tersebut dapat melemahkan kerajaan. Bahkan bisa pula menyebabkan kehancurannya.
Entah, kebingungan apa yang dialami oleh Raja Majapahit itu?! Segala usaha perbaikan moral sudah dilakukannya. Termasuk mendatangkan guru-guru dari kalangan tokoh agama untuk mendidik dan mengarahkan ke jalan yang benar. Namun, kondisinya tetap saja. Bahkan, mereka menyepelekan keberadaan guru-guru tersebut.
Dalam kondisi inilah, nama Ali Rahmatullah keluar dari mulut Dewi Dwarawati, salah satu istri Raja Brawijaya, sebagai pilihan untuk mengemban tugas perbaikan akhlak. Ali Rahmatullah, yang merupakan keponakan Dewi Dwarawati itu, akhirnya dipanggil ke Majapahit. Kemudian diberi wilayah Ampeldenta untuk mendidik akhlak para pangeran dan kaum bangsawan.
Bersama para pangeran dan kaum bangsawan, Ali Rahmatullah pergi ke Ampeldenta. Dalam perjalanan, tidak sedikit pula kalangan rakyat biasa yang ikut dalam rombongannya. Belajar kepadanya. Sejak itu, Ali Rahmatullah dikenal dengan sebutan Sunan Ampel.
Lantas, bagaimanakah cara anak manusia memperbaiki akhlak sesamanya?!
Mengikuti pandangan Nabi Saw., Ib mengakui, bahwa dalam setiap kebudayaan masyarakat terdapat sistem nilai moral yang baik, dimana keseluruhannya diusahakan melalui pendidikan. Akan tetapi, tampaknya hal itu belum cukup, terutama karena sistem nilai tersebut didasarkan pada moralitas yang berasal dari hubungan antar umat manusia. Dari situlah, maka diperlukan nilai-nilai teologis yang sakral, terutama nilai-nilai aqidah—tauhid—untuk dijadikan sebagai pondasi. Tidak hanya dalam perbaikan moral saja, tetapi juga dalam seluruh aktivitas hidup manusia.
Innama buistu liutammima makarimal akhlak, demikian sabda Nabi Saw., yang menunjukkan bahwa beliau diutus untuk menyempurnakan akhlak mulia. Memang, dalam kehidupan manusia terdapat banyak sistem nilai yang berisi dan mengajarkan akhlak mulia. Sementara tugas Nabi Saw., yaitu menyempurnakannya. Dan seluruh upaya tersebut dapat ditemukan dalam sejarah dan kehidupan beliau dalam membangun masyarakat berdasarkan nilai-nilai Islam.
Secara historis, revolusi dari masyarakat “jahiliyah” menuju masyarakat Islam seperti yang dapat dilihat pada periode Madinah, tidak terjadi secara tiba-tiba, tetapi diawali oleh perubahan positif dalam kehidupan keluarga, yang kemudian berlanjut pada pembinaan komunitas kecil. Pada proses ini, intensifikasi dan spiritualisasi nilai-nilai Islam menjadi episode penting dalam membentuk generasi Islam yang tangguh, dimana secara jangka panjang diproyeksikan sebagai kader-kader terdepan dalam transformasi masyarakat.
Dari keseluruhannya, tampak bahwa pendidikan Islam menjadi elemen vital, sekaligus strategis dalam proses tersebut. Sebagaimana yang dapat dilihat dari keluarga Nabi Saw, pendidikan Islam menghasilkan tokoh-tokoh, seperti Ali bin Abi Thalib, Fatimah dan putra-putri beliau lainnya, serta Zaid bin Haritsah—anak angkat—, yang merupakan murid-murid pertama dalam Islam. Dalam cakupan yang lebih luas lagi, yaitu keberadaan dar al-arqam, yang menjadi pusat penggemblengan kader-kader Islam dalam komunitas kecil yang dikenal dengan julukan assabiquna al-awwalun atau golongan yang pertama masuk Islam.
Ib mengamati, bahwa hal di atas inilah yang kemudian menginspirasi Sunan Ampel dalam perbaikan akhlak. Tidak hanya kepada para pangeran dan kaum bangsawan, tetapi juga kalangan masyarakat lainnya. Terutama golongan pemuda yang diarahkan sebagai kader-kader dalam pembentukan masyarakat yang ideal.
Seperti yang dicontohkan oleh Nabi Saw., setibanya di Ampeldenta, Ali Rahmatullah kemudian mendirikan masjid. Bukan hanya terbatas pada bangunan semata, tetapi lebih jauh pada fungsinya yang urgen dan luas, sebagai pusat aktivitas masyarakat, keagamaan maupun sosial budaya. Begitu juga dengan pesantren yang merupakan pengembangan lanjutan dalam bidang pendidikan. Dari komunitas Ampeldenta ini lahir kader-kader, seperti Sunan Bonang, Sunan Drajat, Sunan Giri, Raden Fatah, dan sebagainya, yang tidak hanya dikenal memiliki akhlak mulia, tetapi juga berpengaruh besar dalam penyebaran Islam dan transformasi masyarakat, terutama di Pulau Jawa dan Nusantara pada umumnya.
***
IB tersentak. Pikirannya buyar seketika. Dilihatnya seorang pengemis perempuan duduk memegang tangannya. Kerut-kerut dan rambut putih yang terlepas dari tutup kain di kepala, menunjukkan usianya yang telah tua.
“Welase, nak…” kata pengemis itu seraya melepaskan tangan Ib. Matanya berkaca, merah dan sedikit pucat. Ib seperti tersihir oleh mata itu. “Welase…”