9

Syauqi Sumbawi
Chapter #7

07

APA YANG menjadikan seorang anak manusia begitu berharga di mata sesamanya?! Tentu saja, karena totalitas perjuangannya untuk umat manusia dan kemanusiaan itu sendiri. Apa alasan seorang hamba begitu dimulaikan oleh Tuhannya?! Jawabnya, karena takwanya. Lantas, apa yang menyebabkan begitu banyak orang rela mengeluarkan harta, waktu, dan tenaga, untuk berziarah kepada makam orang lain, yang bahkan tidak dikenalnya secara baik, kecuali hanya melalui cerita?! Berdoa untuknya?! Tidak ada yang lain, yaitu karena derajatnya yang mulia, baik di hadapan Tuhan maupun manusia.

***

 

DI SEBELAH barat makam, Ib duduk bersila seraya membaca surat Yaasin yang entah ke berapa. Empatpuluh kali, demikian dia mendapat ijazah dari kyai pengasuh pesantren tempatnya belajar, yang di-sowani-nya ketika meminta izin beberapa hari yang lalu. Sekaligus sebagai tanda untuk dia bisa melanjutkan perjalanan berikutnya. Selepas shalat dzuhur berjamaah siang tadi, dia telah memulainya. Berhenti dan meneruskan kembali ketika waktu mendekati waktu shalat berjamaah. Juga untuk mandi, wudlu, makan, dan keperluan lainnya secara lumrah.

Di sela-sela antara selesai dan memulai membaca lagi, sebentar dilihatnya para peziarah datang dan pergi. Terus berganti. Menjadikan lokasi makam tak pernah sepi dari doa sepanjang hari. Terlihat pula olehnya bermacam-macam perilaku peziarah yang datang. Ada yang membaca tahlil, membaca surat Yaasin, dan hanya duduk terdiam. Begitu juga rombongan peziarah yang bersuara keras dalam bacaan-nya, seperti tengah berlomba dengan rombongan peziarah yang lain. Bahkan ada pula yang datang, duduk, tengak-tengok, kemudian pergi. Yah, beragam orang yang datang. Beragam pula niat dan perilakunya. Dari keragamannya itu, tak ada yang perlu disalahkan. Bagi Ib, semua itu adalah kauniyah Tuhan.

Malam terus merangkak bersama jarum jam dinding lokasi makam itu yang terus menandainya. Duapuluh lebih tigapuluh menit dan sekian detik. Ib terus membaca surat Yaasin dalam al-Qur’an kecil di tangannya. Sementara tak jauh di belakangnya, seorang laki-laki setengah baya duduk. Dia memakai kemeja dan bercelana. Tak ada peci di kepalanya. Hampir setengah jam dia di sana. Telah selesai pula membaca Yaasin dan tahlil dalam doanya.

Shadaqallahu adzim,” ucap Ib kemudian menyambungnya dengan membaca surat al-Fatihah.

Ib diam sejenak, menatap ke arah makam. Segera terasa olehnya sebuah tepukan di pundak kanannya. Membuatnya menoleh ke belakang. Ketika mengetahui laki-laki tersebut, dia langsung menyalaminya. Mencium tangannya.

***

 

MENGIKUTI laki-laki setengah baya itu keluar dari lokasi makam, Ib dihadapkan berbagai pertanyaan di kepalanya. Menurutnya, kalau tidak ada masalah yang sangat penting, tidak mungkin ayahnya pergi dari Jakarta ke Surabaya hanya untuk menemuinya. Apalagi di makam Sunan Ampel. Namun, dia mencoba bersabar. Menunggu kebenaran di balik semua itu.

Basri terus melangkah. Lokasi dan suasana yang tergelar di hadapannya, bagaikan tangan-tangan halus yang membuka pintu-pintu dalam memorinya. Dari seluruh pintu yang ada, dia melihat bayangan Hanifah. Mendiang istrinya, yang mendekatkan Basri dengan tempat ini. Membangun kenang-an dalam memorinya. Karena itu, kenangan tentang Hanifah, tidak bisa dielakkan dari pikirannya. Terlebih keberadaan Ib, yang senantiasa mengingatkan pada mendiang istrinya itu.

Perlahan dia melewati gapura keluar makam. Memakai sepatu. Kemudian mendekati gentong-gentong air yang terletak di sebelah kiri jalan. Ib mengikutinya dari belakang. Di depan salah satu gentong, Basri meraih gelas kecil dari plastik. Mengambil air yang berasal dari sumur peninggalan Sunan Ampel itu. Lantas meminumnya.

“Minumlah!” katanya kepada Ib yang berdiri di samping-nya.

Dilihatnya Ib meraih gelas, mengambil air, dan meminumnya. Semuanya dilakukannya secara perlahan. Penuh ketenangan.

Perilaku putranya inilah yang selalu mengingatkan pada mendiang istrinya. Juga kepada ayah mertuanya. Tidak seperti dirinya, yang terkesan menjalankan segala sesuatu secara cepat. Aktif, demikian komentar orang-orang tentang dirinya. Dari keseluruhannya, Basri kerapkali kesulitan untuk menemukan satu kemiripan sikap antara dirinya dengan putranya tersebut.

“Sekarang, kau temani ayah makan,” lanjut Basri. Ib mengiyakannya.

***

 

DI WARUNG ITU, mereka menikmati soto dan teh hangat. Seperti biasanya, Ib berusaha merasakan nikmatnya setiap makanan yang disantapnya. Termasuk soto yang kini dinikmatinya. Pelan-pelan, tanpa merasa tergesa-gesa. Berbeda dengan ayahnya yang biasa menikmati makanannya dengan cepat. Karena itu tak heran jika ayahnya telah menyelesaikan makannya lebih dulu.

“Bagaimana hasil ujianmu kemarin di Jakarta?” kata Basri setelah menyeruput teh hangat.

Insyaallah setengah bulan lagi, hasil pengumumannya dapat diketahui,” jawab Ib setelah menghentikan makannya sejenak. Kemudian melanjutkannya lagi.

Lihat selengkapnya