JAUH SEBELUM Thales, filosof Yunani sebelum Masehi, menyatakan bahwa “semua bermula dari air”, sejak awal kehidupannya, manusia telah mengkonsumsi air untuk kehidupannya. Juga, manusia tidak bisa dipisahkan dengan air yang sangat mutlak keberadaannya bagi usaha peternakan dan pertaniannya. Lantas apakah makna air dalam kehidupan manusia?! Tentunya, hal itu tergantung pada pandangan manusia itu sendiri, yang tidak lain adalah makhluk pemberi dan penerima makna. Karena itu, makna air dalam kehidupan setiap manusia bersifat relatif. Barangkali hanya sebuah kedekatan hubungan di antara keduanya saja yang bisa menjelaskan makna itu.
Sesungguhnya, tidak ada perbedaan antara air yang satu dengan air yang lain. Semuanya sama, yaitu ciptaan Tuhan. Akan tetapi dalam kehidupan manusia, air mengalir bersama cerita dan sejarahnya, sehingga memiliki makna khusus, di mana kekuasaan Tuhan terlibat di dalamnya. Misalnya, kisah munculnya air zamzam, yang dalam tradisi Islam dipercaya sebagai jawaban Tuhan atas doa dan usaha Hajar, istri Nabi Ibrahim, ketika mencari air untuk putranya, Ismail. Maka, tidak heran jika setiap kali umat Islam di Indonesia pergi haji atau umrah, mereka selalu membawanya sebagai oleh-oleh. Zam-zam, demikian sebutan khusus dan terdengar istimewa, lantaran kisah dan sejarah yang menyertainya.
Lalu dalam kejernihannya, manusia memberi perasa pada air, sehingga lidah yang normal bisa merasakan asin, manis, kecut, dan sebagainya. Manusia memberi pewarna, sehingga mata bisa melihat warna hijau, merah, kuning, dan sebagainya di sana. Lebih lanjut, manusia juga mengemasnya sedemikian rupa dan memperjualbelikannya. Dan tidak dipungkiri, seluruh aktivitas tersebut kemudian turut meng-gerakkan kehidupan sosial-ekonomi di masyarakat.
Dalam kejernihannya pula, manusia pun memberinya rasa spiritual. Menitipkan doa di dalamnya. Sebagaimana dipraktikkan oleh Nabi Saw., air dengan rasa spiritual atau doa itu lantas menjadi salah satu metode pengobatan. Barangkali, rasa spiritual inilah yang membedakan air yang satu dengan yang lain, baik air zam-zam, air sumur peninggalan Sunan Ampel, maupun dengan air dalam botol kemasan. Dari semuanya, hanya qudrat dan iradat Tuhan yang menjawabnya. Hanya Tuhan, tempat bergantung segala sesuatu.
***
SHALAT ASHAR berjamaah di masjid Ampel baru saja usai. Sementara amalan membaca surat Yaasin telah dirampungkannya jam dua siang tadi. Di salah satu beranda masjid yang cukup sepi, Ib segera berkemas. Mengganti sarung dari kemeja koko dengan celana dan kemeja pendek kotak-kotak. Kemudian memasukkan barang-barangnya ke dalam tas ransel. Sedangkan botol kemasan berisi air sumur peninggalan Sunan Ampel itu diletakkannya di saku samping kiri tas ranselnya. Kini, tiba saatnya untuk meneruskan perjalanan.
Bersama doa, Ib melangkahkan kakinya dengan mantap. Menyusuri ruas gang yang terletak di sisi selatan masjid Ampel. Kemarin saat datang, dia tidak melewati gang itu, tetapi gang utama yang berada di sisi timur. Dan selama menghabiskan waktu di situ, dia tahu satu gang lain yang menjadi jalan masuk ke lokasi masjid dan makam, yaitu terletak di belakang makam, yang menghubungkan dengan lokasi parkir kendaraan mobil pribadi dan carteran selain bus besar.
Berbeda dengan gang utama di sebelah timur, bagian atas gang yang dilewatinya itu tertutup atap. Kondisinya lebih rapi. Aktivitas ekonomi dari lapak-lapak yang berdiri di kanan-kiri ruas gang pun terasa lebih hidup. Ib melihatnya ibarat los panjang sebuah pasar.
Di depan gapura gang, Ib berhenti sejenak. Beberapa tukang becak melambaikan tangan, berebut menawarkan jasa antar penumpang. Akan tetapi, Ib menolaknya dengan halus. Dia ingin berjalan kaki sore itu. Jembatan merah, yang menjadi tujuannya, tidak terlalu jauh. Kira-kira satu kilo-meter lebih duaratus atau sekitar limabelas menit berjalan kaki, demikian kata salah seorang penjaga masjid Ampel kepadanya.
Jalan Panggung, demikian alamat dan nama jalan yang disusurinya itu. Tidak terlalu lebar untuk ukuran jalan di kota Surabaya yang disebut sebagai kota terbesar kedua di Indonesia. Kendati tidak tampak mobil yang melintas, namun jalan itu cukup ramai dengan lalu lintas, terutama becak dan sepeda motor. Lebih dari itu, kelihatannya jalan ini telah ada sejak zaman Sunan Ampel dulu, serta menjadi satu ruas jalan yang sibuk dengan aktivitas ekonomi masyarakat sekitarnya. Bangunan rumah pertokoan padat berderet hingga jauh ke selatan. Hampir separuhnya masih tampak seperti bangunan pertokoan masa kolonial. Akan tetapi, tidak sedikit pula yang telah direnovasi. Dari luar, tampak barang-barang yang dijual seperti busana muslim, beragam jenis roti, kurma dan jajanan khas Timur Tengah, kitab-kitab dan al-Qur’an, serta barang maupun jasa lainnya yang dianggap bisa memberikan keuntungan finansial.
Yah, demikianlah, jual-beli.
Kurang dari duapuluh menit, Ib telah mencapai Jembatan Merah yang terkenal itu. Secara kasat mata, tidak ada yang istimewa dari jembatan dengan pagar pembatas dari besi yang bercat warna merah. Konstruksinya tidak berbeda jauh dengan jembatan-jembatan di beberapa tempat lain. Kecuali peristiwa dan makna historis yang melingkupinya. Jembatan Merah yang gagah, sekaligus menjadi saksi perjuangan arek-arek Suroboyo melawan kolonialisme. Merdeka atau Mati! Allahu Akbar, demikian pekik mereka dalam perang kemerdekaan. Kini, barangkali hanya pada dinding-dinding gedung zaman kolonial yang masih berdiri menjadi pagar-pagar jalanan, pekik itu menyimpan sisa gemanya. Teramat lirih di antara deru kendaraan dan suara musik yang tersebar dari warung-warung kaki lima. Juga musik dan iklan dari pengeras suara pusat pertokoan di sebelahnya. Sebuah plaza.