TIDAK DIPUNGKIRI, bahwa dunia hiburan semakin gebyar dewasa ini. Bisnis hiburan, begitu istilah populernya, yang mengisyaratkan tersedianya hiburan di satu pihak, dan kepentingan ekonomis di pihak lain. Apakah hiburan mampu mengatasi berbagai permasalahan hidup yang dihadapi oleh manusia?! Lantas, apakah upaya yang berasal dari manusia yang bersifat profan bisa menjadi solusi bagi permasalahan manusia yang hakiki?!
Jika tidak bisa, maka dimanakah terdapat solusi itu?!
Di sinilah terletak urgensi agama dalam kehidupan manusia dan masyarakat. Seluruh ajarannya yang bersumber dari wahyu yang diturunkan kepada para rasul-Nya ditujukan sebagai petunjuk manusia dalam kehidupannya, baik dalam hubungannya dengan Tuhan, antar manusia, dan alam sekitar. Spiritual maupun material. Termasuk dalam mencari solusi atas segala permasalahan, baik yang bersifat individual maupun sosial. Hal ini hanya mungkin berhasil jika agama tidak hanya terkungkung dalam permasalahan keshalihan individual, tetapi juga keshalihan sosial, serta diarahkan untuk pemberdayaan masyarakat, terutama pada peningkatan taraf hidup mereka. Dengan demikian, maka keberadaan agama dan pemeluknya, benar-benar menjadi rahmatan lil alamin.
Agama dan pemberdayaan masyarakat, demikian pikiran Ib selepas berjamaah shalat maghrib, terkait pembacaannya terhadap perjuangan dakwah Maulana Malik Ibrahim. Yah, sebelum perjalanan itu, Ib telah membaca buku-buku tentang perjuangan walisongo. Hal ini dilakukan agar dia bisa lebih mengenal pribadi para tokoh yang sangat dihormati, sekaligus melekat dalam tradisi keberagamaan masyarakat, terutama di pulau Jawa.
Dari buku-buku tersebut, Ib tahu, bahwa perjuangan dakwah Maulana Malik Ibrahim berlangsung ketika kerajaan Majapahit berada pada masa kemundurannya. Bahkan men-jelang keruntuhannya. Hal ini ditandai berbagai krisis sosial yang terjeadi, baik politik, ekonomi, maupun religiositas.
Memang, Majapahit masih merupakan kerajaan terbesar di pulau Jawa ketika itu. Di dunia luar, wibawa dan penga-ruhnya masih terasa kuat. Namun kondisi internal kerajaan sebenarnya telah keropos. Konflik di kalangan keluarga kerajaan berlanjut pada perang saudara yang berkepanjangan. Akibatnya, rakyat yang kemudian menjadi korban. Kesengsaraan dan kelaparan terjadi dimana-mana. Loyalitas para adipati dan pejabat kerajaan pun memudar. Banyak di antara mereka yang melakukan korupsi serta me-ngemplang pajak dan upeti.
Sementara itu, kriminalitas marak terjadi di seluruh wilayah. Kekerasan, perampokan, pencurian, dan sebagainya. Bahkan, tidak sedikit di antara satuan-satuan prajurit kerajaan membelot dan beralih menjadi gerombolan perampok yang menjarah harta benda milik kalangan bangsawan dan rakyat jelata. Karena tidak ada jaminan keamanan, tidak heran jika rakyat di pedesaan merasa tidak tenang dalam mengolah lahan pertanian. Akibatnya, seluruh wilayah kera-jaan kekurangan bahan pangan dan kelaparan terjadi di mana-mana. Ditambah musim kemarau yang panjang, maka kondisi rakyat pun semakin mengenaskan.
Dalam kondisi seperti inilah, Maulana Malik Ibrahim atau Si Kakek Bantal melakukan dakwahnya. Bersama para santrinya, dia kerap melakukan perjalanan ke desa-desa untuk melihat secara langsung penderitaan yang dialami oleh rakyat, serta berusaha untuk meringankannya.
Ib masih ingat kisah itu. Konon, pada suatu ketika dalam perjalanannya, Kakek Bantal bertemu dengan kumpulan orang yang sedang melakukan ritual untuk meminta hujan. Di tengah-tengah tanah lapang tak berumput dan gersang, mereka berkerumun menyaksikan dua pemuda yang beradu. Keduanya saling memukulkan sebatang rotan ke punggung masing-masing. Warna memar terlihat melintang di sana. Meneteskan darah. Sementara gending terus ditabuh memeriahkan laga. Kemudian baru dihentikan setelah dua pemuda itu roboh ke tanah.
Seorang laki-laki tua yang tampaknya adalah pemimpin ritual, segera maju ke tengah lingkaran. Lantas memberi perintah untuk menyeret kedua pemuda itu keluar arena.
“Bawa kemari anak perawan itu!” teriaknya menuding ke arah seorang gadis berbaju putih.
Dua laki-laki bertubuh kekar yang sejak tadi mencekal lengan gadis itu kemudian menyeretnya ke altar persembahan. Tak peduli dengan teriakan gadis itu yang ingin tetap hidup.
Di atas altar, gadis itu lalu dibaringkan dengan paksa. Dua orang laki-laki bertubuh kekar lainnya segera maju. Membantu memegangi kedua tangan dan kaki gadis itu untuk dipentangkan.
“Wahai, Penguasa Hujan! Terimalah persembahan kami! Hentikan kemarau panjang ini. Curahkan limpahan airmu ke bumi yang gersang ini!” teriak pemimpin ritual. Lantas mendekati gadis itu yang terus meronta-ronta.
“Hai, perawan suci. Korbankan dirimu dengan rela. Sederas darah yang keluar dari jantungmu, maka sederas itu pula hujan akan turun. Dan pengorbananmu tidak akan dilupakan oleh seluruh penduduk desa ini!”
“Jangan bunuh aku!” teriak gadis itu dalam tangis dan ketakutannya. Meronta-ronta, namun tidak berdaya.
Dengan seringai senyum, pemimpin ritual itu tidak mempedulikan gadis itu. Dia melempar tongkat di tangan. Kemudian mencabut belati dari balik pinggang. Mengangkatnya ke atas. Tepat di atas jantung gadis itu. Lantas menikamkan belati itu.