JIKA KEFAKIRAN menjurus pada kekafiran, maka kekayaan menjurus pada keangkuhan. Demikian yang pernah dikatakan Pak Bakrun ketika mengajar di kelas. Bahwa setiap kondisi memiliki godaannya sendiri. Umumnya ketika miskin dan kekurangan, manusia digoda untuk mencukupi segala kebutuhannya dengan cara apapun. Bisa dengan cara mencuri, merampok, tidak mau membayar hutang, menjadi pekerja seks komersial, dan sebagainya. Apalagi kini, kebutuhan hidup semakin hari semakin bertambah.
Sebaliknya, dalam kondisi berlebihan harta dan punya kuasa, manusia akan digoda untuk memiliki semua yang ada di dunia. Hingga keangkuhan melupakan segalanya. Lupa akan keberadaannya sebagai manusia. Bahkan dengan keangkuhan, dia pun bertindak laiknya “tuhan”.
Qarun, demikian kisah yang kemudian diungkapkan Pak Bakrun sebagai salah satu contoh kondisi manusia terkait kemiskinan dan kekayaan. Yah, sebagaimana diketahui, pada mulanya Qarun adalah seorang miskin yang taat beribadah dan berdoa kepada Tuhannya. Dia terus bersabar dengan kemiskinan. Akan tetapi, lama-kelamaan dia pun tergoda untuk mendapatkan hidup yang lebih berkecukupan harta. Perlahan kemiskinan menggerus kesabarannya.
Dalam doanya, Qarun pun mengeluh kepada Tuhannya. Terus minta diberi harta dan kekayaan. Dia merasa bahwa dengan harta tersebut, akan membuatnya lebih mudah beribadah kepada-Nya. Berjanji tidak akan pernah melupakan Tuhan. Begitu juga karunia yang diberikan kepadanya. Dan Tuhan pun mengabulkan keluhan tersebut.
Perlahan kondisi Qarun berubah. Dia memiliki harta dan kekayaan yang kian lama semakin bertambah. Kian melimpah. Rumah megah bagai istana, pakaian dan kendaraan mewah, serta para pembantu yang begitu banyak di sekitarnya, melengkapkan keberadaannya. Demikian kaya dan berkuasa. Menjadikan Qarun merasa telah memiliki segalanya.
Pada umumnya, orang-orang menganggap bahwa dengan segala kekayaan tersebut, Qarun telah memperoleh kesenangan dan kebahagiaan hidup. Sementara orang-orang bijak tahu, bahwa apa yang terjadi sebenarnya menunjukkan Qarun telah kehilangan sesuatu. Memang, dia telah mendapatkan kekayaan yang melimpah, tetapi hal itu justru menggerus keimanan dan ketakwaannya. Kesibukannya dalam mengurus dan mengembangkan harta yang terus melimpah, menjadikannya lupa kepada Tuhan dan karunia yang telah diberikan-Nya. Mengabaikan peringatan-Nya. Bahkan ingkar dan menyombongkan diri.
Dia berkeras menyatakan bahwa segala yang telah diperolehnya tersebut, tidak lain adalah berkat usahanya sendiri. Tidak ada campur tangan Tuhan di dalamnya. Dan semuanya tahu, bahwa di puncak keangkuhannya, dia justru terperosok dalam lubang yang dalam. Tuhan menenggelamkannya beserta seluruh kekayaan, serta mengakhiri keangkuhannya.
***
KISAH QARUN di atas tercantum dalam al-Qur’an, yang tidak lain ditujukan agar manusia dapat mengambil hikmah. Bagi Ib, kisah ini sudah tidak asing lagi. Beberapa kali dia telah mendengarnya dalam beberapa versi yang dibuat oleh para penceritanya, dengan pesan makna yang sama. Akan tetapi, dia mendapatkan kesan berbeda jika Pak Bakrun yang bercerita. Ib selalu antusias mendengarkan kisah apapun yang diceritakannya, meskipun kisah-kisah itu terdengar seperti pengulangan di telinganya.
Menurut Ib, Pak Bakrun memiliki kriteria seorang pencerita yang baik. Ekspresinya total, bahasanya komunikatif, intonasi suara dan cara penuturannya tepat dan lancar, warna suara yang sedikit berat, serta penekanannya pada makna kehidupan yang terkandung di dalamnya, ibarat sebuah sihir. Karena itu, tak heran jika setiap waktu pelajaran Pak Bakrun, teman-teman sekelasnya acapkali meminta sebuah kisah. Mereka seperti para pengembara yang ingin mendapatkan percikan air kehidupan, untuk menyiram jiwa muda mereka yang dahaga akan pengetahuan, hikmah dan kebijaksanaan.
Tanpa merendahkan para guru dan ustadz di sekolah lingkungan pesantrennya di luar kota, Pak Bakrun adalah guru dan ustadz panutannya. Pribadinya sederhana bersama lukisan senyum yang selalu tampak di wajahnya yang bersih. Dia juga konsisten dengan apa yang diucapkannya.
“Al-fatihah”, demikian katanya usai mengucap salam. Mengajak para murid untuk berdoa mengawali pelajaran. Dan meskipun ada piket di kelas, dia selalu menghapus sendiri tulisannya di papan tulis ketika jam pelajaran usai.
Ib ingat, suatu ketika Pak Bakrun pernah lupa kebiasaan-nya itu. Setelah mengakhiri pelajaran dengan salam, dia langsung melangkah keluar kelas. Akan tetapi, baru satu langkah melewati pintu, tiba-tiba dia kembali dengan tersenyum. Dia mengambil penghapus. Kemudian melanjutkan langkahnya setelah papan tulis bersih dari coretan tangannya.
Kepada murid-muridnya, dia tidak pernah memanggil dengan kata “kamu”, tetapi memanggil dengan menyebut namanya. Dan inilah salah satu kelebihan Pak Bakrun dibanding guru dan ustadz yang lain, yaitu hafal dengan nama setiap muridnya. Padahal di sekolah pesantren tersebut, jumlah muridnya hampir mendekati angka seribu.