BAGAIMANA mungkin seorang yang kelaparan bisa terus khusyuk dalam ibadahnya?! Lantas, bukankah lapar dan kenyang sendiri adalah “sentilan Tuhan”?! Untuk selalu ingat kepada-Nya, baik dalam kondisi kenyang maupun lapar. Dan bukankah menjaga diri, termasuk tubuh ini, adalah kewajiban manusia?!
Satu hal yang Ib ketahui dari Pak Bakrun, bahwa tidak semua pertanyaan bisa dijawab dengan “iya” atau “tidak”, “benar atau salah”, “ini” atau “itu”. Karena terkadang, waktu sendiri yang menjadi jawabannya. Kemudian dari semua pertanyaan yang ada, hanya dengan jawaban yang berasal dari hati dan pandangan yang bijak, seseorang akan mendapatkan kedamaian.
***
IB MENYELESAIKAN bacaan surat Yaasin-nya. Duapuluh kali, demikian jumlah yang telah dibacanya sejak usai berjamaah shalat Isya’ lalu. Dia tidak akan memaksa untuk terus melanjutkan bacaannya. Lapar bercampur perih di perutnya kini semakin mendera.
Di sekitarnya, para peziarah memenuhi lokasi makam Sunan Maulana Malik Ibrahim. Bacaan al-Qur’an, tahlil, dan dzikir, yang keluar bersama suara mereka terdengar riuh, sekaligus sakral. Banyak di antara mereka yang membacanya secara bersama dalam rombongannya. Ib tahu, jika pada lokasi makam Sunan Ampel ramai dengan pengunjung, maka di lokasi makam para wali yang lain biasanya juga akan ramai. Musim ziarah, demikian Ib menandai fenomena tersebut.
Setelah memasukkan al-Qur’an kecilnya ke dalam tas, Ib berdiri menatap makam Sunan Maulana Malik Ibrahim. Ketika membalikkan tubuhnya, dia melihat para peziarah yang duduk di hadapannya, seperti mengepungnya. Yah, inilah resiko bagi peziarah seperti Ib yang duduk di depan. Persis di depan makam. Apalagi di sebelah barat. Tak ada cara lain untuk mendapatkan jalan, kecuali menyibak keru-munan itu. Dengan membungkuk dan menurunkan tangan kanannya, Ib kemudian melangkah di antara mereka yang segera membuka jalan baginya. Begitulah, tata cara yang dianggap paling sopan oleh masyarakatnya.
Setibanya di luar gapura lokasi makam, Ib berhenti. Mobil-mobil pribadi dan mobil carteran selain bus, berparkir menutupi bagian kanan-kiri aspal. Di seberang jalan di hadapannya, sebuah warung penuh dengan pembeli. Seperti-nya mereka adalah para sopir dari mobil-mobil carteran. Akan tetapi, tampaknya bukan itu yang dicari. Bukan warung kopi.
“Mungkin di sebelah sana,” gumamnya, kemudian berjalan ke utara.
Tepat di sebelah gapura gang setelah lokasi makam, Ib menemukan warung nasi. Di sana, beberapa orang peziarah, tampak menikmati makanannya. Sementara dua orang sopir, asyik bercakap-cakap sembari menyaksikan tayangan televisi. Ditemani secangkir kopi dan sebatang rokok di tangannya, mereka bersabar menunggu dan mengantarkan para peziarah pada perjalanan berikutnya. Yah, nasib para sopir carteran. Terus bertahan melawan bosan perjalanan.
***
NASI RAWON, demikian menu yang baru saja dipesannya. Kini, di meja dekat dua orang sopir itu, Ib menunggu makanannya sembari menonton televisi. Sementara jam dinding yang tergantung di sebelah televisi itu menunjukkan pukul duapuluhtiga lebih empatpuluhenam sekian detik.
Selepas iklan, tayangan kontes penyanyi dangdut itu muncul kembali. Kemudian seorang peserta laki-laki muncul di sana, menggantikan tiga orang host yang baru saja meng-hadirkannya. Sebentar lantunan musik dangdut menyebar di sekitar warung makan.
Ah, kebetulan sekali, pikir Ib. Dia tersenyum seketika.
Lapar, demikian tema lagu itu. Yah, ciptaan si raja dangdut, Rhoma Irama. Akan tetapi, cara menyanyi yang dilakukan oleh peserta laki-laki itu sangat menakjubkan. Ekspresinya total, suaranya sedikit serak, dan lengkingannya tinggi, seperti menyihir siapapun yang menyaksikannya.
Ketika musik berhenti, sorak-sorai bergemuruh dari tempat duduk penonton di studio. Tentu saja di Jakarta sana. Tidak mungkin, di Gresik sini. Maklumlah, sebuah kota di daerah tak akan bisa mengalahkan pusatnya industri hiburan. Apalagi pertelevisian. Dan ke Jakarta-lah, mereka akan menjadi tenar. Seperti yang dilakukan oleh peserta kontes itu.
Sementara para pendukung itu terus berteriak mengelu-elukan penyanyi idolanya. Terdengar gaduh bersama poster-poster yang terangkat ke atas. Untunglah, para operator siaran televisi adalah para profesional yang berpengalaman. Untuk meredam kegaduhan, mereka tinggal menekan tom-bol dan shot kamera langsung terarah pada dewan juri kontes. Dan tanpa berteriak, hanya dengan sedikit tekanan pada suaranya melalui microfon, tiga orang host itu pun berhasil merubah keadaan menjadi tenang kembali.
Ib tersenyum menyaksikan hal itu. Sebuah episode pertunjukan, bahwa dalam kehidupannya, manusia memiliki idola yang akan terus mendapatkan dukungannya. Akan te-tapi lebih dari itu, yang sebenarnya mereka inginkan adalah hiburan dan rasa senang. Terlebih bagi mereka yang didera kebosanan hidup sehari-hari.
Ketika juri pertama mulai memberikan penilaiannya, pesanan nasi rawon Ib tiba di meja. Juga segelas teh hangat.
“Maturnuwun, bu,” kata Ib tersenyum.
Bagi umumnya masyarakat, mungkin perkataan itu adalah salah satu bentuk sopan santun. Namun, Ib memiliki pandangan lain. Bukankah Nabi Saw., menyatakan barangsiapa yang berterimakasih kepada manusia, sesungguhnya dia bersyukur kepada Tuhan.